Ahok, Kantor Mewah PHR di Jakarta dan Janji Manis Blok Rokan Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi
SABANGMERAUKE NEWS - "Kita bicara Hulu Rokan, PHR. Masak kantor pusatnya ada di gedung mewah di Kuningan, terus sewa lagi. Kenapa enggak pakai kantor yang ada di Rokan?," kata Basuki Tjahaya Purnama (BTP) alias Ahok kepada awak media di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (18/7/2023) lalu.
Pernyataan keras Ahok tersebut menyasar pada sikap manajemen PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang memilih berkantor pusat di Jakarta, ketimbang di wilayah kerja utamanya Blok Rokan di Riau.
Ia tampaknya agak geram plus kecewa, manakala jargon efisiensi BUMN yang kerap didengungkan, dalam praktiknya justru berujung pada pemborosan keuangan korporasi.
Ibarat punya rumah sendiri, tapi PHR yang merupakan anak usaha PT Pertamina Hulu Energi (PHE) itu justru memilih 'ngekost' alias ngontrak di rumah orang lain.
"Prinsipnya, ngapain kamu punya rumah, tapi rumah kamu dibiarin. Terus kamu sewa rumah, lucu enggak? Kamu kerjanya deket rumah kamu dong. Itu saja logikanya," kata Ahok lagi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyebut kalau anak perusahaan Pertamina, seperti PT Kilang Pertamina Balikpapan dan PHR menyewa kantor di Jakarta seharga Rp 382 miliar. Itu belum termasuk biaya operasional.
Kantor mewah PHR yang dimaksud Ahok berada RDTX Place. Bangunan elit bertingkat ini terletak di Jalan Prof DR Satrio, Nomor 17, Karet Kuningan, Jakarta Selatan. Jelas, ini lokasinya di salah satu kawasan elit ibukota negara Jakarta.
Corporate Secretary PT PHR Wilayah Kerja Rokan, Rudi Ariffianto tak menyebut angka berapa biaya sewa kantor tersebut. Ia berdalih, soal biaya diupayakan seefisien mungkin dan sesuai kebutuhan yang ada.
Autokritik yang disampaikan Ahok ini ibarat lonceng yang suaranya bikin telinga menjadi tipis. Tipikal Ahok yang suka buka-bukaan apa adanya namun faktual, tapi tujuannya baik.
Ia membongkar praktik dan budaya lama yang menginginkan kenyamanan, ketimbang kerja, kerja dan kerja. Sebagai Komisaris Utama PT Pertamina, Ahok sudah menjalankan tugasnya. Namun, kewenangan komisaris yang terbatas pada pengawasan kebijakan korporasi itu, harus ditindaklanjuti pada level direksi, bukan didiamkan begitu saja.
Jadi teringat soal akronim BUMN buatan Ahok: Badan Usaha Milik Nenek Lu.
PHR memiliki wilayah kerja terbentang dari Aceh sampai Sumatera Selatan. Namun, bisnis dan wilayah kerja utamanya ada di Blok Rokan, Provinsi Riau.
PHR berkuasa di Blok Rokan, pasca habis kontrak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) sejak 9 Agustus 2021 lalu, sudah hampir dua tahun lamanya.
Blok Rokan adalah kantong utama minyak di Indonesia. Dengan produksi rata-rata 160 ribu barel per hari (bph), hasil perut Bumi Lancang Kuning Riau ini telah menyumbang kontribusi sekitar 24 persen produksi minyak nasional. Bukan angka yang kecil dan kaleng-kaleng, bukan?
Bukan Sekadar Biaya Sewa Kantor
Sentilan Ahok soal PHR yang memilih berkantor mewah di Jakarta, sesungguhnya tak sekadar karena perusahaan harus mengeluarkan kocek dari pundi-pundi perusahaan. Tapi, persoalan substantif lain turut menyertainya.
Pekan lalu, saya singgah di sebuah warung kopi di Duri, Bengkalis yang merupakan ladang minyak terbesar dikelola PHR. Empat jam saya nongkrong, namun tamu kedai kopi tersebut tetap kosong.
Sang pengelola warung kopi mengeluh. Semula ia berharap sejak Pertamina mengelola Blok Rokan, usaha di Kota Duri bisa makin ramai. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Di luar dugaannya.
Beda ketika Chevron masih mengelola Blok Rokan, kehidupan ekonomi di Duri tumbuh bergeliat. Orang ramai berdatangan, mulai dari bule ekspatriat sampai level buruh kontrak migas.
Kini, denyut ekonomi Kota Duri tampak mulai lesuh, sepi dan mundur. Harga rumah karyawan eks Chevron anjlok, sepi peminat. Orang berbelanja kian sedikit.
"Ekonomi di sini makin susah. Beda ketika Chevron masih ada. Entah karena apa," tutur Nalon, warga Duri mengeluh.
Itu adalah satu potret kecil realita suara arus bawah Blok Rokan di era Pertamina. Banyak pihak mengeluh. Mulai dari buruh kontrak migas dengan kontrak singkat super hemat, sampai kegundahan pelaku usaha jasa migas lokal.
Pasca PHR berkuasa di Bumi Lancang Kuning, ekspansi anak cucu cicit BUMN, khususnya grup Pertamina massif menguasai proyek-proyek di Blok Rokan. Perusahaan-perusahaan plat merah ini mendapat keistimewaan khusus: dapat proyek lewat penunjukkan langsung (PL).
Dalihnya adalah kebijakan Sinergis BUMN yang gagah dikampanyekan sejak Erick Thohir menjabat Menteri BUMN. Lewat jargon Sinergis BUMN, sejumlah perusahaan plat merah melalui tentakel anak perusahaannya meraup proyek-proyek bernilai jumbo di Blok Rokan.
Suara keras dari gedung Senayan DPR seolah tak dianggap. Protes kerap dilayangkan saat Jaffee Arizon Suardin menjadi Direktur PHR. Pada 22 Mei 2023 lalu, Jaffee sudah diganti oleh Chalid Said Salim. Tapi, tampaknya sama sekali tak ada perubahan kebijakan rantai pasok (supply chain) tata proyek di Blok Rokan.
Ironisnya, sejumlah proyek yang diberikan kepada perusahaan plat merah tersebut, pada praktiknya justru diecer dan dikerjakan kepada perusahaan lain. Bisa dibayangkan kalau pola rantai panjang proyek ini terjadi, maka akan berdampak pada hasil akhir pekerjaan. Entah apakah ini ada hubungannya dengan tingkat kecelakaan kerja yang tinggi di Blok Rokan sejak dikelola PHR.
Suara dari gedung Senayan menyebut anak perusahaan BUMN yang bermain di Blok Rokan sekadar hanya mendapatkan fee. Tak punya modal dan peralatan, lalu pekerjaan diserahkan ke pihak lain. Itu terungkap dalam rapat di DPR beberapa bulan lalu.
Anak perusahaan BUMN dapat makan, sebaliknya kontraktor lokal tiarap. Sejumlah anggota asosiasi pengusaha (kontraktor) aras lokal di Riau yang dulunya merupakan pemain lama era Chevron, kini gigit jari dan jadi penonton.
"Hanya Tuhan lah yang tampaknya bisa menolong kami. Kalau tidak ada perubahan kebijakan tata proyek, maka nasib kami makin tak jelas," kata seorang kontraktor pemain lama di Blok Rokan.
Beda nasib. Jika anak perusahaan BUMN mendapat keistimewaan lewat penunjukkan langsung (PL) proyek, sebaliknya pelaku jasa migas lokal harus saling berantuk mendapat kue proyek dengan margin yang kritis. Sebagian sadar dan memilih menghindar, khawatir kolaps.
Hingga kini tak pernah ada kebijakan "pengistimewaan" untuk pelaku usaha jasa migas lokal. Sinergis BUMN tampaknya lebih kuat ketimbang jargon "tuan di negeri sendiri" bagi pelaku jasa migas lokal.
Wajar saja, kini mulai banyak pihak yang menagih soal janji manis "Blok Rokan Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi". Jangankan menaik-kelaskan pelaku usaha lokal, untuk bertahan saja sudah morat-marit.
Padahal, Presiden Jokowi dalam pidatonya sesaat peralihan Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina secara keras telah mengingatkan soal kue ekonomi bagi daerah penghasil. Tentu saja yang dimaksud bukanlah hanya sekadar dalam bentuk Participating Interest (PI) 10 persen Blok Rokan yang merupakan durian runtuh.
Tapi, hal yang lebih pokok yakni bagaimana kehadiran Pertamina di Blok Rokan bisa menggerakkan sendi-sendi ekonomi daerah. Ekonomi Riau masih digerakkan oleh sektor migas, perkebunan dan kehutanan. Jangan sampai setelah minyak habis, ekonomi Riau tak berubah juga.
Fasilitas Kantor di Riau Sangat Memadai
Kembali ke soal kantor PHR. Sebenarnya, Chevron mewarisi banyak fasilitas gedung yang representatif dan memadai.
Setidaknya, ada empat wilayah yang memiliki kompleks perkantoran di wilayah operasional Blok Rokan. Sebut saja eks main office Chevron di Rumbai, Pekanbaru, perkantoran di Minas, Duri dan Dumai.
Keempat lokasi perkantoran tersebut sangat ideal dan representatif dipilih menjadi kantor pusat PHR, ketimbang harus 'ngekost' di Jakarta.
Dengan pemusatan kegiatan perkantoran PHR di Riau, maka dipastikan akan berdampak pada denyut ekonomi daerah. Hal yang paling pokok, pelaksanaan lelang-lelang proyek pun harusnya ditarik ke Riau, bukan di Jakarta seperti saat ini.
Langkah itu akan membuat para pelaku bisnis rajin datang ke daerah, tidak lagi harus nongkrong dan lobi-lobi di Jakarta. Pusat lobi bisnis migas Blok Rokan itu harusnya dipindahkan ke Riau, bukan lagi di Jakarta.
Bukankah kita kerap koar-koar soal pembangunan ala Indonesia Sentris? (*)