Skandal Pembobolan Rekening Nasabah BJB Pekanbaru: Indra Osmer Pasrah, Teller Cantik Tarry Dwi Cahya Banding!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Mantan manajer Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Pekanbaru, Indra Osmer Hutahuruk pasrah dengan vonis hukuman 6 tahun penjara dan pidana denda Rp 10 miliar subsider 2 bulan kurungan dalam kasus pembobolan rekening nasabah. Indra tidak mengajukan banding atas putusan yang ditetapkan majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 27 Desember 2021 lalu.
Namun, teller BJB Cabang Pekanbaru, Tarry Dwi Cahya tak dapat menerima putusan hakim. Tarry menempuh upaya hukum banding atas vonis terhadap dirinya yang sama dengan Indra Osmer yakni 6 tahun penjara dan pidana denda Rp 10 miliar subsider 2 bulan kurungan penjara.
BERITA TERKAIT: Teller Cantik BJB Pekanbaru Tarry Dwi Cahya Divonis 6 Tahun Penjara, Terbukti Bobol Rekening Nasabah
Berdasarkan informasi yang dimuat di website SIPP Pengadilan Negeri Pekanbaru, dalam kasus terpidana Indra Osmer, jaksa penuntut dari Kejati Riau, Zurwandi SH tidak juga mengajukan upaya hukum banding. Jaksa dalam dalam perkara tindak pidana perbankan ini menuntut Indra Osmer hukuman 8 tahun penjara dan pidana denda Rp 10 miliar subsider 6 bulan kurungan penjara.
BERITA TERKAIT: Polda Riau Didesak Usut Aktor Lain Skandal Dugaan Pembobolan Rekening Nasabah BJB Pekanbaru
Jaksa penuntut Zurwandi SH telah menerima pemberitahuan putusan pada 27 Desember 2021 dan salinan putusan telah diterima pada 30 Desember 2021. Itu artinya, sesuai dengan ketentuan, batas waktu pengajuan banding telah habis.
BERITA TERKAIT: 8 Fakta Menarik Kasus Pembobolan Rekening Nasabah BJB Pekanbaru, Nomor 5 Bikin Kita Kaget
Joko SH, kuasa hukum Indra Osmer mengakui kliennya tidak mengajukan banding. Ia menyatakan perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
"Ya, klien kami tidak banding. Ya, inkrah," jelas Joko lewat pesan WhatsApp, Kamis (27/1/2022).
BERITA TERKAIT: Bersaksi di Kasus Pembobolan Rekening Nasabah BJB Pekanbaru, Pejabat OJK Tegaskan Bank harus Lindungi Nasabah
Sementara, pantauan SabangMerauke News di website SIPP Pengadilan Negeri Pekanbaru, teller BJB Pekanbaru, Tarry Dwi Cahya mengajukan banding. Padahal, vonis terhadap Tarry yakni 6 tahun penjara dan pidana denda Rp 10 miliar subsider 2 bulan kurungan penjara. Vonis ini jauh lebih kecil dari tuntutan jaksa. Jaksa Zarwandi SH menuntut Tarry hukuman 10 tahun penjara dan pidana denda Rp 10 miliar subsider 6 bulan kurungan penjara.
Tarry telah menyerahkan memori bandingnya pada Selasa, 18 Januari 2022 lalu. Perkara banding ini sudah teregistrasi dengan nomor: WA.U1/PID.SUS/HK.01/2022. Adapan majelis hakim banding yang sudah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru yakni Iman Gultom sebagai ketua dan dua anggota majelis hakim yakni Didiek Riyono Putra serta Eris Sudjarwanto.
Dalam website SIPP Pengadilan Negeri Pekanbaru tersebut, tidak terlihat kalau jaksa penuntut Zarwandi SH mengajukan banding. Diduga kuat jaksa memang tidak banding.
Majelis hakim PN Pekanbaru yang diketuai, Dr Dahlan SH, MH dalam amar putusannya menyatakan Indra Osmer terbukti melakukan tindak pidana perbankan dalam jabatannya sebagaimana dalam dakwaan jaksa, yakni pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana no pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Sementara terhadap Tarry, majelis hakim menyatakan wanita ini terbukti melanggar pasal 49 ayat (1) huruf a dan pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992, tentang Perbankan jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Indra Osmer terbukti secara bersama-sama dengan teller BJB Tarry Dwi Cahya melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen perbankan. Tindakan ilegal itu telah menyebabkan nasabah BJB Pekanbaru yakni Arif Budiman dan sejumlah perusahaan milik Arif mengalami kerugian miliaran rupiah.
Perkara dilaporkan oleh Arif Budiman ke Polda Riau pada 2019 lalu. Dalam laporannya Arif mengaku telah kehilangan dana mencapai Rp 26 miliar dalam kurun waktu tahun 2014-2018 dari rekening giro sejumlah perusahaannya yang disimpan di BJB Pekanbaru. Namun, dalam proses penyidikan nilai kerugian yang ditetapkan penyidik Polda Riau maupun jaksa Kejati Riau hanya sebesar Rp 3,02 miliar.
Adapun modus dugaan kejahatan perbankan ini sedikitnya dilakukan dalam dua cara. Yakni kedua terdakwa diduga melakukan pencairan cek dana perusahaan dengan memalsukan tanda tangan Arif dan direktur perusahaan yang dimiliki Arif.
Selain itu, terdakwa Indra juga diduga melakukan pengambilan dana dari giro perusahaan Arif dan memindahkannya ke rekening kolega terdakwa. Proses pencairan cek dan pemidahbukuan rekening tanpa diketahui dan dikonfirmasi oleh Arif maupun direktur perusahaan yang dimiliki Arif.
Indra diduga mengutak-atik isi rekening giro sejumlah perusahaan, tanpa persetujuan Arif dan para direktur perusahaan milik Arif. Dalam menjalankan aksinya, terdakwa memerintahkan sejumlah pegawai BJB Pekanbaru untuk melakukan penarikan cek, meski tidak diketahui oleh korban.
Terdakwa Akui Pencairan Cek Tak Sesuai Prosedur
Mantan teller BJB cabang Pekanbaru, Tarry Dwi Cahya mengakui sejumlah pencairan cek atas nama korban Arif Budiman dan perusahaannya tidak sesuai prosedur. Ironisnya, meski tidak prosedural dan ditemukan sejumlah kesalahan dalam berkas pengajuan, namun cek dapat dicairkan.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (15/11/2021) lalu, majelis hakim yang diketuai oleh Dr Dahlan SH, MH memeriksa terdakwa Tarry. Hakim mencecar Tarry dengan sejumlah dokumen pencairan cek yang diduga bermasalah. Pencairan cek tersebut diduga dilakukan dengan tanda tangan nasabah yang tidak identik menurut hasil laboratorium forensik kepolisian.
Hakim Dahlan bertanya soal cek yang ditulis salah yakni dengan angka tulisan "Tujuh Puluh Ribu Delapan Juta Rupiah". Hakim mempertanyakan berapa sebenarnya angka uang dalam tulisan di lembaran cek tersebut. Tarry sempat terdiam dan tertawa kecil. Ia akhirnya mengakui kalau dirinya khilaf dan tidak teliti.
"Jadi kalau cek salah tulis begini, apakah uangnya bisa cair?", tanya hakim Dahlan.
Tarry menyatakan sebenarnya sesuai ketentuan cek tersebut harus diperbaiki lebih dulu. Namun hal tersebut tidak dilakukan perbaikan, meski uang telah dicairkan.
"Sebenarnya tidak bisa dicairkan, Yang Mulia. Harus diperbaiki dulu," kata Tarry.
Kasus dugaan pembobolan dana nasabah atas nama pelapor Arif Budiman mendudukkan 2 orang sebagai terdakwa yakni mantan Manager Customer BJB Pekanbaru, Indra Osmer Hutahuruk dan Tarry Dwi Cahya yang merupakan teller di perbankan BUMD milik Pemprov Jabar dan Banten tersebut.
Dalam keterangannya di hadapan majelis hakim, Tarry juga mengakui kalau transaksi bermasalah pencairan cek dilakukan tanpa verifikasi di awal pengajuan cek. Justru verifikasi dilakukan pada sore hari ketika operasional kantor akan tutup.
"Sejak saya jadi teller memang seperti itu. Verifikasi dilakukan sore hari, Yang Mulia," kata Tarry.
Lagi-lagi Tarry mengakui kalau sebenarnya verifikasi harus dilakukan saat proses pencairan cek, bukan setelah sore hari.
Tarry juga mengakui kalau seluruh cek yang diduga bermasalah tersebut dilakukan otorisasi oleh dua atasannya. Kedua atasannya tersebut yaknk Sri Nola selaku supervisor dan Sonny selaku manajer operasional. Sri Nola dan Sonny sudah diperiksa hakim dalam persidangan bulan lalu. Keduanya mengaku memang melakukan otorisasi pencairan cek yang kemudian diketahui bermasalah.
Tarry juga mengaku pernah mencairkan cek namun uangnya diambil oleh Indra Osmer.
Hakim mencecar mengapa uang diberikan kepada Indra Osmer, bukan kepada Arif Budiman selaku pemilik rekening.
"Sebenarnya itu gak boleh, Yang Mulia," kata Tarry.
Bank Harus Lindungi Nasabah
Sebelumnya pekan lalu, sidang kasus dugaan pembobolan rekening nasabah menghadirkan Pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pusat, Prio Anggoro sebagai ahli. Dalam pendapatnya ahlinya, Prio menegaskan bahwa setiap perbankan diwajibkan untuk melindungi nasabah dan mencegah nasabah dari kerugian.
"Setiap pelaku usaha jasa keuangan (perbankan) wajib mencegah perbuatan penyimpangan dan pelanggaran. Tujuannya agar tidak ada perbuatan yang merugikan nasabah," kata Prio Anggoro di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (1/11/2021).
Prio adalah Pemeriksa Eksekutif Senior pada Departemen Pemeriksaan Khusus Perbankan OJK Pusat. Prio menegaskan, ketentuan internal bank maupun praktik perbankan umumnya mewajibkan petugas bank untuk melakukan konfirmasi kepada pemilik rekening (nasabah) dalam setiap transaksi apapun itu.
"Bank harusnya dapat memastikan pemilik dana datang dan disaksikan petugas bank. Jika tidak hadir tentunya ada mekanisme lain. Namun harus dipastikan adanya konfirmasi dari pemilik rekening. Tentu bank punya aturan soal itu. Silahkan saja cek aturan bank tersebut," tegas Prio.
Prio Anggoro menegaskan, sesuai ketentuannya, petugas bank wajib melakukan konfirmasi kepada pemilik rekening dalam setiap transaksi yang dilakukan. Menurut Prio, seharusnya bank mengonfirmasi ke pemilik rekening untuk memastikan terjadinya transaksi secara benar.
"Untuk memastikan tanda tangan tersebut, petugas bank wajib konfirmasi ke pemilik rekening. Itu ada di prosedur bank," kata Prio.
Prio juga menyatakan dalam ketentuan bank ada mekanisme dan pejabat yang berkaitan dengan sistem kontrol transaksi. Termasuk juga untuk memastikan setiap transaksi memiliki bukti fisik yang benar dan akurat sesuai prinsip kehati-hatian.
"Bank tersebut memiliki ketentuan. Buka saja isi ketentuannya akan diketahui siapa yang bertanggungjawab. Transaksi cek itu harus ada proses cek fisik," tegas Prio.
Menurut ahli Prio, petugas bank wajib melakukan konfirmasi yang dilakukan bank sesuai job description. Pihak bank harus konfirmasi terlebih dahulu untuk melengkapi suatu dokumen agar transaksi sah," kata Prio.
Ia menegaskan konfirmasi ke pemilik rekening adalah upaya mitigasi resiko untuk menghindari kerugian nasabah maupun bank.
"Konfirmasi harus dilakukan pihak bank. Wajib konfirmasi," kata Prio.
Prio juga menyebut soal keberadaan CCTV sebagai bagian dari upaya mitigasi bank.
"CCTV adalah bagian dari mitigasi bank," jelas Prio.
Sebelumnya dalam kesaksian sejumlah pejabat BJB Pekanbaru menyebutkan kalau CCTV di kantor BJB Pekanbaru, Jalan Sudirman mengalami kerusakan. Back up data CCTV pun disebut tidak ada.
Rekaman Pembicaraan Sudah 'Siapkan' Pengadilan
Kasus dugaan pembobolan dana nasabah Bank Jabar Banten (BJB) cabang Pekanbaru dengan korban Arif Budiman, terus memunculkan fakta-fakta baru. Bila sebelumnya pejabat BJB Pekanbaru, Sonny Budi Hariyadi selaku manajer operasional mengaku kalau pihaknya tidak memiliki rekaman CCTV, namun pengakuannya tersebut dalam persidangan sudah terbantah.
Adalah mantan petugas CCTV BJB Pekanbaru, Riztino yang membuka tabir yang diduga dipendam oleh pihak BJB Pekanbaru. Riztino kepada majelis hakim dalam persidangan dua pekan lalu menyatakan kalau rekaman CCTV sudah diserahkan kepada Sonny Budi Haryadi.
Ternyata, pengakuan Riztiono tersebut tak hanya klaim semata. Sebuah rekaman pembicaraan via handphone diduga komunikasi antara Riztino dengan Sonny pun beredar. Dalam pembicaraan tersebut, diduga seorang bernama Sonny meminta agar Riztino tidak menyerahkan hasil backup rekaman data CCTV kepada siapapun, kecuali kepada pihak BJB.
Riztino dalam pembicaraan telepon tersebut menyatakan kepada seorang diduga Sonny kalau seluruh data yang orisinil sudah ia serahkan ke pihak BJB. Namun diakuinya masih ada data kopian yang ia pegang. Orang yang diduga Sonny meminta agar sisa data kopian yang ada pada Riztino diserahkan kepada BJB.
Dalam pembicaraan tersebut, diduga seorang yang bernama Sonny menyatakan kalau masalah perkara dapat dibereskan oleh BJB. Bahkan ia sempat menyebut kalau BJB pernah mengeluarkan uang Rp 5 miliar untuk membereskan kasus.
"Kemarin aja, kasus yang di daerah mana, Rp 5 miliar aja kita beresin. Uang berapa, nggak masalah bagi BJB", kata orang yang diduga Sonny dalam rekaman itu. Soal uang Rp 5 miliar tersebut, orang diduga bernama Sonny mengaitkannya dengan sebuah institusi hukum.
Tak hanya itu, orang diduga Sonny tersebut sesumbar kalau untuk kasus yang terjadi di Pekanbaru sudah disiapkan oleh BJB. Ia bahkan menyebut kalau urusan di pengadilan pun sudah disiapkan.
"Pekanbaru sudah kita siapin semuanya, baik pengadilan. Mau ngadukan di Pengadilan, silakan. Kita sudah siapin semuanya," kata orang diduga Sonny tersebut kepada Riztino dalam rekaman pembicaraan tersebut.
Sabang Merauke News belum dapat mengonfirmasi Sonny maupun pihak BJB Pekanbaru ikhwal adanya rekaman pembicaraan tersebut. Namun, Riztino sudah mengakui kalau suara dalam rekaman tersebut adalah dirinya.
Perihal adanya rekaman pembicaraan antara orang diduga Sonny dengan Riztino sudah pernah disampaikan jaksa penuntut kepada majelis hakim yang diketuai Dr Dahlan SH, MH. Namun, saat itu hakim Dahlan tidak berkenan membuka isi rekaman percakapan tersebut. Menurut hakim Dahlan, rekaman percakapan mesti diuji lebih dulu keasliannya di laboratorium forensik.
"Silahkan saja ajukan, tapi divalidasi dulu keasliannya di laboratorium forensik. Gak apa-apa," kata hakim Dahlan dalam, persidangan Senin (18/10/2021) lalu.
Hakim Dahlan dalam sejumlah persidangan berkali-kali mempertanyakan soal rekaman CCTV, khususnya di ruangan pelayanan pencairan cek. Ia bahkan sempat mengungkapkan rasa curiga ada hal yang sengaja ditutupi oleh pihak manajemen BJB.
"Kok BJB perbankan yang sebesar itu tak punya back up data. Kok aneh ya. Apa semua kantor BJB seperti itu tak punya back up data?," kata hakim Dahlan, dalam persidangan pemeriksaan saksi dari internal BJB.
Hakim Dahlan pun menyatakan aneh jika seandainya ada kegiatan kejahatan yang tidak terpantau oleh bank ketika CCTV rusak dan back up data tak ada.
"Jadi kalau ada perampok, bagaimana itu? Gimana polisi bisa mengungkap?," tanya hakim Dahlan lagi. (*)