Pernikahan Beda Agama Dikabulkan Pengadilan, Pendeta Gomar PGI: Konsekuensi Masyarakat Majemuk, Kapan Dewasanya Kita?
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom merespon soal putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan pernikahan beda agama antara Islam dan Kristen. Gomar menyatakan menghormati putusan hakim tersebut meski tidak populer.
Gomar menilai, pernikahan beda agama sebagai konsekuensi masyarakat majemuk di Indonesia. Justru sebaliknya jika ditentang akan memicu timbulnya persoalan sosial yang baru.
"Di tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia, toleransi itu bukan hanya soal kebutuhan, tapi merupakan hakekat hidup bersama. Toleransi berarti ada kesediaan saling menerima dan saling mengakomodasi," ujar Gomar, Jumat (30/6/2023).
Gomar menyebut pernikahan beda agama merupakan konsekuensi logis yang terjadi di lingkungan masyarakat yang majemuk. Jika hal ini ditentang, katanya, akan mengakibatkan beberapa masalah seperti salah satunya menikah di luar Indonesia.
"Jatuh cinta dan kemudian memutuskan hidup bersama sebagai satu keluarga, meski beda agama, suku dan golongan, merupakan konsekuensi logis dari realitas masyarakat majemuk. Dan negara harus hadir mecatatkan perkawinan sedemikian," katanya.
"Jika tidak, kita akan menghadapi ragam problem seperti menikah di luar Indonesia, dan ini tak mungkin bagi kelas menengah bawah; kumpul kebo tanpa pernikahan; menikah dengan pura-pura pindah agama," sambungnya.
Lebih lanjut, dia tetap menghormati putusan PN Jakpus tersebut.
"Kapan dewasanya kita? Untuk itu, saya menghormati keputusan PN tersebut, meski tidak populer," katanya.
Sebelumnya, PN Jakpus mengizinkan pernikahan beda agama di antara dua pasangan kekasih Islam dan Kristen. Selain berdasarkan UU Adminduk, penetapan yang diketok hakim Bintang AL mendasarkan alasan sosiologis, yaitu keberagaman masyarakat.
"Heterogenitas penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis bilamana perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-undang," ucap hakim Bintang AL dari pertimbangan hukumnya.
Disebutkan bahwa calon mempelai laki-laki, JEA adalah seorang Kristen dan calon mempelai wanita, SW adalah seorang muslimah. Keduanya sudah berpacaran selama 10 tahun hingga meyakinkan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Keduanya menikah di sebuah gereja di Pamulang yang dihadiri orang tua kedua mempelai. Namun, saat hendak didaftarkan ke negara lewat Dinas Catatan Sipil Jakarta Pusat, mereka ditolak karena perbedaan agama. Oleh sebab itu, keduanya mengajukan permohonan ke PN Jakpus untuk diizinkan dan dikabulkan.
"Memberikan izin kepada para pemohon untuk mencatatkan perkawinan beda agama di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jakpus," demikian putus hakim tunggal Bintang AL.
Hakim Bintang AL menyatakan putusan itu sesuai Pasal 35 huruf a UU 23/2006 tentang Adminduk. Juga berdasarkan putusan MA Nomor 1400 K/PDT/1986 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan beda agama.
"Bahwa dengan demikian pula Pengadilan berpendapat bahwa perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar dan sangat memungkinkan terjadi, mengingat letak geografis Indonesia, heterogenitas penduduk Indonesia, dan bermacam agama yang diakui secara sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis bilamana perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-undang," ucap hakim Bintang AL. (*)