Uang Suap Kelapa Sawit Diduga Mengalir ke Kepala Daerah dan Pejabat Kementerian Terendus PPATK
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Suap dan gratifikasi bersumber dari uang hasil kelapa sawit diduga mengalir ke sejumlah kepala daerah dan pejabat kementerian. Hal tersebut dimonitor oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Direktur Analisis dan Pemeriksaan 1 PPATK Beren Rukur Ginting mengatakan pihaknya melalukan monitoring bersama Satuan Tugas (Satgas) Tata Kelola Industri Kelapa Sawit yang dibentuk Presiden Jokowi pada April lalu. Satgas ini dikomandoi oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Pengarah Satgas dan Wakil Menkeu Suahasil Nazara sebagai Ketua Pelaksana Satgas.
"Mengenai sawit ini kan ada beberapa sebenarnya garis besarnya itu yang problem. Misalnya terkait indikasi suap dan gratifikasi. Kemudian itu terkait dengan pejabat yang berkepentingan, apakah kepala daerah atau pegawai di Kementerian," kata Beren, dilansir cnnindonesia, Selasa (27/6/2023) lalu.
Beren menjelaskan, sejak dibentuknya Satgas Kelapa Sawit, PPATK secara intens melakukan monitoring terhadap transaksi para pihak, khususnya yang terkait aliran uang kelapa sawit.
Namun, Beren tak membeberkan secara detil perkembangan dari hasil pemantauan tersebut. Beren mengaku tak terlibat langsung dalam tim tersebut.
"Hasilnya sejauh mana saya belum terinfo," ucapnya.
BACA JUGA: Ini Daftar Lengkap Pejabat dan Tugas Pokok Satgas Kelapa Sawit yang Baru Dibentuk Jokowi
Beren menyebut PPATK juga mengambil bagian untuk mendeteksi nilai transaksi yang sesungguhnya terjadi dalam industri sawit. Banyak laporan yang dilaporkan tidak sesuai dengan nominal aslinya.
"Jadi misalnya ngirim barang ke luar negeri misalnya 1 ton dilaporkan jadi 0,5 ton. Yang tadinya harga per ton Rp 200 ribu jadi Rp 250 ribu. Itu yang kami pantau," ucap dia.
Luhut Minta Pengusaha Sawit Melapor
Sebelumnya, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengultimatum pengusaha kelapa sawit untuk memberikan laporan kelengkapan perizinan kelapa sawit yang dimiliki. Data perizinan dan penguasaan kebun sawit milik pelaku usaha akan diperiksa untuk mengetahui akurasi dan kebenarannya.
"Seluruh pelaku usaha harus tertib dan memberikan data yang sebenar-benarnya. Serta displin dalam melaporkan kondisinya," kata Luhut dalam konferensi pers terkait tata kelola kelapa sawit yang disiarkan secara langsung, Jumat (23/6/2023) kemarin.
Adapun pelaporan data tersebut disampaikan secara mandiri (self reporting) lewat layanan website Sistem Perizinan Perkebunan (Siperinbun) mulai tanggal 3 Juli hingga 3 Agustus mendatang.
Luhut menyatakan ada sekitar 10 juta hektare lebih lahan perkebunan kelapa sawit dikelola oleh pelaku usaha (perusahaan). Data tersebut diperoleh lewat citra satelit dan akan ditelusuri validitasnya. Sementara, Badan Pengawasan Pembangunan dan Keuangan (BPKP) menyebut luasan kebun sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta hektare.
BERITA TERKAIT: 476 Perusahaan di Riau Kuasai 221 Ribu Hektare Hutan Secara Ilegal, Ini Daftar Rinciannya
Ia menerangkan, dari audit yang dilakukan oleh BPKP, banyak perusahaan sawit yang beroperasi tanpa kelengkapan perizinan. Antara lain izin lokasi, izin usaha perkebunan (IUP) dan hak guna usaha (HGU).
"Satgas mendorong agar setiap pelaku usaha berkewajiban melengkapi izin-izin usaha perkebunan sesuai peraturan yang berlaku," tegas Luhut yang merupakan Ketua Tim Pengarah Satuam Tugas (Satgas) Tata Kelola Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara.
Luhut mengingatkan agar pelaku usaha memberikan laporan secara lengkap dan benar izin yang dimiliki serta luasan lahan yang dikelola perusahaan. Sebab Satgas juga akan melakukan pengecekan ulang secara random untuk memastikan data yang diberikan perusahaan sawit benar adanya. Termasuk melakukan pemanggilan kepada perusahaan dalam rangka klarifikasi data yang disampaikan kepada Satgas.
Dalam kesempatan tersebut, Luhut mengungkap ada sekitar 3,3 juta hektare kebun sawit berada dalam kawasan hutan. Adapun penyelesaiannya, Satgas Tata Kelola Kelapa Sawit akan menerapkan pasal 110A dan pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja. Satgas kata Luhut, akan menyinkronkan kebun dalam kawasan hutan yang masuk dalam skema pasal 110A atau pasal 110B.
Menurutnya, lewat aturan tersebut maka pelaku usaha kebun sawit dalam kawasan hutan diwajibkan untuk membayar denda (penalti).
"Akan diputihkan, tetapi harus membayar seluruh kewajiban, denda dan penalti kepada negara. Kan gak mungkin (tanaman kelapa sawit) dicopotin. Logika aja," tegas Luhut.
Adapun penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektare ini, berdasarkan UU Cipta Kerja batas waktunya hanya sampai 2 November 2023. Itu artinya, hanya tersisa waktu sekitar 5 bulan lagi untuk menyelesaikannya.
Saat ditanya wartawan cara percepatan penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan yang waktunya sangat terbatas, Luhut cetus menjawabnya.
"Dia (pelaku usaha) tahu kok. Dia tahu dia maling. Di laporan lah. Gitu aja repot," kata Luhut.
Menurut Luhut, keberadaan kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta tersebut bukan hanya kesalahan rakyat atau pengusaha. Tapi juga merupakan kesalahan pejabat terkait.
"Kalau kita mau, bisa kita usut siapa (pejabat) yang mengasih itu. Tapi, kita ya pelan-pelanlah," jelas Luhut.
Satgas Kelapa Sawit
Sebelumnya, pada 14 April 2023 lalu, Presiden Jokowi telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2023.
Adapun masa kerja Satgas dibatasi hingga 30 September 2024 mendatang. Satgas akan melaporkan perkembangan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden melalui Ketua Pengarah paling sedikit 1 kali setiap 6 bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Satgas ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Presiden Jokowi dalam Keppres tersebut menetapkan Menko Maritim Investasi, Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketua Pengarah Satgas. Sementara, Ketua Pelaksana Satgas yakni Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara.
2.701 Penguasa Kebun Sawit dalam Hutan
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyebut proyeksi penerimaan negara dari denda kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan mencapai Rp 50 triliun. Namun, penanganan soal denda saat ini dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas) Tata Kelola Kelapa Sawit yang dibentuk Presiden Jokowi beberapa waktu lalu.
"Diproyeksikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 50 triliun. Tapi di-enforce oleh satgas nasional yang diketuai oleh Wakil Menteri Keuangan," kata Siti Nurbaya dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR yang disiarkan lewat channel YouTube, Selasa (13/6/2023) lalu.
Diketahui sejak 2021 lalu, Menteri LHK Siti Nurbaya telah menerbitkan sebanyak 12 pucuk surat keputusan berisi daftar dan informasi tentang penguasaan hutan tanpa izin. SK terbaru diterbitkan pada 5 April 2023 lalu berisi 30 subjek hukum tambahan yang akan mendapat program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin.
Subjek hukum adalah istilah (nomenklatur) yang dipakai Kementerian LHK merujuk pada kelompok penguasa hutan ilegal (tanpa izin), meliputi korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat dan lembaga instansi pemerintah.
Sebelumnya, dalam 11 SK terdahulu yang diteken Menteri Siti, jumlah subjek hukum pengguna hutan tanpa izin ada sebanyak 2.671 subjek hukum. Dengan demikian, saat ini sudah ada sebanyak 2.701 subjek hukum yang terdata di KLHK.
Kawasan hutan itu mayoritas telah dialihfungsikan secara ilegal menjadi kebun kelapa sawit. Adapun lokasi penguasaan hutan ilegal terluas berada di Provinsi Riau.
Sejak dilakukan pendataan pengguna kawasan hutan tanpa izin oleh Kementerian LHK, sangat sulit sekali mengakses tahapan perkembangan proses denda administrasi yang sudah dilakukan oleh kementerian ini. Konfirmasi yang dilakukan kepada sejumlah pejabat KLHK termasuk Menteri Siti via WhatsApp tak pernah dibalas.
Denda Kawasan Hutan
Kebijakan penerapan denda administrasi dalam kasus penguasaan hutan ilegal diatur dalam pasal 110A dan pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja. Dengan undang-undang sapu jagat ini, pidana kejahatan hutan dapat dikesampingkan (ultimum remedium) dan diganti dengan membayar denda yang akan menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Adapun instrumen yang dipakai yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan. PP ini merupakan turunan langsung dari UU Cipta Kerja.
Pada awalnya, penerapan denda ini ditangani langsung secara tunggal oleh Kementerian LHK. Namun, dengan penerbitan Keppres Satgas Sawit tersebut, seperti disebut Menteri Siti, kewenangan pelaksanaan denda kini dikendalikan oleh Satgas.
Tahun Politik
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyorot secara keras kebijakan pengampunan kejahatan hutan yang ditempuh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalih program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin di tahun politik yang memanas dituding sengaja diciptakan sebagai ruang transaksional para elit politik kekuasaan.
“Tidak berlebihan jika kita sebut Pasal 110A dan 110B (Undang-undang Cipta Kerja) merupakan ruang transaksional yang sengaja dibuat untuk mempertemukan kepentingan korporasi dan para elit di tahun politik. Korporasi dapat pengampunan, para elit dapat ongkos politik,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional dalam siaran pers, Jumat (14/4/2023) lalu.
Menurut Uli Arta, pengampunan kejahatan kehutanan melalui Undang-undang Cipta Kerja melaju cepat di tahun politik. Uli menyebut dipastikan KLHK akan menyelesaikan program pengampunan ini sebelum 2 November 2023, sebagaimana mandat 110 A dan 110 B.
"Tentunya batas tenggang waktu ini bukan tanpa konteks yang jelas," jelas Uli.
Berdasarkan tahapan pemilu, pada 19 Oktober 2023 hingga 25 November 2023 adalah masa waktu pendaftaran presiden dan calon wakil presiden, gubernur dan calon wakil gubernur, serta bupati dan calon wakil bupati. Maka setidaknya awal November konsolidasi kepentingan antara, partai-partai politik dan pemberi biaya sudah harus selesai. Hal ini diperkuat dengan proses yang begitu tertutup oleh KLHK.
Uli juga menambahkan subjek hukum selain korporasi juga patut diperiksa lebih jauh. Pasalnya, dalam SK diidentifikasi individu-individu yang memiliki kebun sawit di hutan dengan luasan di atas 25 hektar.
Uli Arya mencuplik temuan dari terbitnya SK Menteri LHK tahap XI di mana teridentifikasi sebanyak 31 individu yang memiliki kebun sawit di atas 25 hektar. Selain individu, kelompok tani dengan komoditas sawit juga rentan dijadikan modus oleh korporasi untuk bisa mendapatkan pengampunan.
"Fakta-fakta yang sering ditemui di lapangan, korporasi membentuk kelompok plasma yang anggotanya merupakan karyawan-karyawan perusahaannya, ataupun beberapa kelompok masyarakat, untuk bisa mendapatkan akses legal di kawasan hutan”, kata Uli. (*)