3,3 Juta Hektare Kebun Sawit Dalam Kawasan Diputihkan, Langkah Pemerintah Picu Masalah Baru
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Langkah pemerintah yang akan melakukan pemutihan atau pengampunan terhadap pengelola 3,3 juta hektare kebun sawit dalam kawasan hutan dikritik. Tindakan tersebut dinilai akan menciptakan masalah baru dan bukan solusi yang tepat.
"Ini berpotensi membawa masalah karena Undang-undang Cipta Kerja masih berproses judicial review di Mahkamah Konstitusi, sehingga akan menyebabkan permasalahan baru,“ kata Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo dalam keterangannya kepada media , Senin (26/6/2023).
Menurutnya, upaya pengampunan sawit yang sedang digalakkan pemerintah dapat menjadi preseden buruk dalam upaya perbaikan tata kelola sawit. Pasalnya, hal tersebut justru mengabaikan proses pidana dengan hanya memberikan sanksi berupa denda administratif atas tindakan perambahan kebun sawit yang dilakukan di area hutan tersebut.
Menurutnya, rencana pemerintah adalah bentuk shortcut atau jalan pintas semata dalam menyelesaikan persoalan ini. Padahal, tutur dia, banyak contoh penyelesaian sawit dalam kawasan yang pernah diselesaikan melalui jalur hukum.
Ia menyontohkan kasus di hutan Register 40 di Padang Lawas, Sumut, dimana Mahkamah Agung memutuskan kebun sawit seluas 47.000 hektare hutan di Register 40 Padang Lawas Sumatera Utara dan disita oleh negara.
BERITA TERKAIT: 476 Perusahaan di Riau Kuasai 221 Ribu Hektare Hutan Secara Ilegal, Ini Daftar Rinciannya
Hal lain dalam kasus minyak goreng, Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga grup besar sawit, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group telah ditetapkan sebagai tersangka korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng.
"Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan hukum masih sangat relevan untuk dilakukan dalam menangani kasus serupa di Indonesia,” ujar Achmad.
Dia menjelaskan persoalan sawit dalam kawasan hutan merupakan masalah yang sudah sejak lama dan mengakar di perkebunan sawit hingga saat ini. Penyelesaiannya pun sudah dimulai sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah pun telah menghasilkan sejumlah kebijakan. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2012, PP Nomor 104 Tahun 2015, Inpres Nomor 8 Tahun 2018, hingga terakhir melalui UU Cipta Kerja dan kebijakan turunannya.
Sawit Watch, kata dia, sepakat bahwa upaya perbaikan tata kelola sawit penting dilakukan secara menyeluruh dan sesegera mungkin. Namun, dia mengatakan pemerintah perlu membuat peta jalan, indikator dan capaian yang ingin diraih termasuk mekanisme pengawasannya.
Ia berharap persoalan ini dapat menjadi perhatian pemerintah kedepan. Sehingga, penyelesaiannya tidak hanya semata-mata berfokus pada proses pemutihan sawit dalam kawasan hutan saja. Sebab, menurutnya, persoalan tata kelola sawit dapat ditemukan dari hulu hingga hingga hilir.
UU Cipta Kerja
Sebelumnya, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengungkap ada sekitar 3,3 juta hektare kebun sawit berada dalam kawasan hutan. Adapun penyelesaiannya oleh Satgas Tata Kelola Kelapa Sawit akan menerapkan pasal 110A dan pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja. Satgas kata Luhut, akan menyinkronkan kebun dalam kawasan hutan yang masuk dalam skema pasal 110A atau pasal 110B.
Menurutnya, lewat aturan tersebut maka pelaku usaha kebun sawit dalam kawasan hutan diwajibkan untuk membayar denda (penalti).
"Akan diputihkan, tetapi harus membayar seluruh kewajiban, denda dan penalti kepada negara. Kan gak mungkin (tanaman kelapa sawit) dicopotin. Logika aja," tegas Luhut.
Adapun penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektare ini, berdasarkan UU Cipta Kerja batas waktunya hanya sampai 2 November 2023. Itu artinya, hanya tersisa waktu sekitar 5 bulan lagi untuk menyelesaikannya.
Saat ditanya wartawan cara percepatan penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan yang waktunya sangat terbatas, Luhut cetus menjawabnya.
"Dia (pelaku usaha) tahu kok. Dia tahu dia maling. Di laporan lah. Gitu aja repot," kata Luhut.
Menurut Luhut, keberadaan kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta tersebut bukan hanya kesalahan rakyat atau pengusaha. Tapi juga merupakan kesalahan pejabat terkait.
"Kalau kita mau, bisa kita usut siapa (pejabat) yang mengasih itu. Tapi, kita ya pelan-pelanlah," jelas Luhut.
Ultimatum Pengusaha Kelapa Sawit
Luhut juga mengultimatum pengusaha kelapa sawit untuk memberikan laporan kelengkapan perizinan kelapa sawit yang dimiliki. Data perizinan dan penguasaan kebun sawit milik pelaku usaha akan diperiksa untuk mengetahui akurasi dan kebenarannya.
"Seluruh pelaku usaha harus tertib dan memberikan data yang sebenar-benarnya. Serta displin dalam melaporkan kondisinya," kata Luhut dalam konferensi pers terkait tata kelola kelapa sawit yang disiarkan secara langsung, Jumat (23/6/2023) kemarin.
Adapun pelaporan data tersebut disampaikan secara mandiri (self reporting) lewat layanan website Sistem Perizinan Perkebunan (Siperimbun) mulai tanggal 3 Juli hingga 3 Agustus mendatang.
Luhut menyatakan ada sekitar 10 juta hektare lebih lahan perkebunan kelapa sawit dikelola oleh pelaku usaha (perusahaan). Data tersebut diperoleh lewat citra satelit dan akan ditelusuri validitasnya. Sementara, Badan Pengawasan Pembangunan dan Keuangan (BPKP) menyebut luasan kebun sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta hektare.
Ia menerangkan, dari audit yang dilakukan oleh BPKP, banyak perusahaan sawit yang beroperasi tanpa kelengkapan perizinan. Antara lain izin lokasi, izin usaha perkebunan (IUP) dan hak guna usaha (HGU).
"Satgas mendorong agar setiap pelaku usaha berkewajiban melengkapi izin-izin usaha perkebunan sesuai peraturan yang berlaku," tegas Luhut yang merupakan Ketua Tim Pengarah Satuam Tugas (Satgas) Tata Kelola Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara.
Luhut mengingatkan agar pelaku usaha memberikan laporan secara lengkap dan benar izin yang dimiliki serta luasan lahan yang dikelola perusahaan. Sebab Satgas juga akan melakukan pengecekan ulang secara random untuk memastikan data yang diberikan perusahaan sawit benar adanya. Termasuk melakukan pemanggilan kepada perusahaan dalam rangka klarifikasi data yang disampaikan kepada Satgas.
Sebelumnya, pada 14 April 2023 lalu, Presiden Jokowi telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2023.
Adapun masa kerja Satgas dibatasi hingga 30 September 2024 mendatang. Satgas akan melaporkan perkembangan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden melalui Ketua Pengarah paling sedikit 1 kali setiap 6 bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Satgas ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Presiden Jokowi dalam Keppres tersebut menetapkan Menko Maritim Investasi, Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketua Pengarah Satgas. Sementara, Ketua Pelaksana Satgas yakni Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara.
2.701 Penguasa Kebun Sawit dalam Hutan
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyebut proyeksi penerimaan negara dari denda kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan mencapai Rp 50 triliun. Namun, penanganan soal denda saat ini dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas) Tata Kelola Kelapa Sawit yang dibentuk Presiden Jokowi beberapa waktu lalu.
"Diproyeksikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 50 triliun. Tapi di-enforce oleh satgas nasional yang diketuai oleh Wakil Menteri Keuangan," kata Siti Nurbaya dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR yang disiarkan lewat channel YouTube, Selasa (13/6/2023) lalu.
Diketahui sejak 2021 lalu, Menteri LHK Siti Nurbaya telah menerbitkan sebanyak 12 pucuk surat keputusan berisi daftar dan informasi tentang penguasaan hutan tanpa izin. SK terbaru diterbitkan pada 5 April 2023 lalu berisi 30 subjek hukum tambahan yang akan mendapat program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin.
Subjek hukum adalah istilah (nomenklatur) yang dipakai Kementerian LHK merujuk pada kelompok penguasa hutan ilegal (tanpa izin), meliputi korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat dan lembaga instansi pemerintah.
Sebelumnya, dalam 11 SK terdahulu yang diteken Menteri Siti, jumlah subjek hukum pengguna hutan tanpa izin ada sebanyak 2.671 subjek hukum. Dengan demikian, saat ini sudah ada sebanyak 2.701 subjek hukum yang terdata di KLHK.
Kawasan hutan itu mayoritas telah dialihfungsikan secara ilegal menjadi kebun kelapa sawit. Adapun lokasi penguasaan hutan ilegal terluas berada di Provinsi Riau.
Sejak dilakukan pendataan pengguna kawasan hutan tanpa izin oleh Kementerian LHK, sangat sulit sekali mengakses tahapan perkembangan proses denda administrasi yang sudah dilakukan oleh kementerian ini. Konfirmasi yang dilakukan kepada sejumlah pejabat KLHK termasuk Menteri Siti via WhatsApp tak pernah dibalas.
Denda Kawasan Hutan
Kebijakan penerapan denda administrasi dalam kasus penguasaan hutan ilegal diatur dalam pasal 110A dan pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja. Dengan undang-undang sapu jagat ini, pidana kejahatan hutan dapat dikesampingkan (ultimum remedium) dan diganti dengan membayar denda yang akan menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Adapun instrumen yang dipakai yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan. PP ini merupakan turunan langsung dari UU Cipta Kerja.
Pada awalnya, penerapan denda ini ditangani langsung secara tunggal oleh Kementerian LHK. Namun, dengan penerbitan Keppres Satgas Sawit tersebut, seperti disebut Menteri Siti, kewenangan pelaksanaan denda kini dikendalikan oleh Satgas.
Tahun Politik
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyorot secara keras kebijakan pengampunan kejahatan hutan yang ditempuh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalih program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin di tahun politik yang memanas dituding sengaja diciptakan sebagai ruang transaksional para elit politik kekuasaan.
“Tidak berlebihan jika kita sebut Pasal 110A dan 110B (Undang-undang Cipta Kerja) merupakan ruang transaksional yang sengaja dibuat untuk mempertemukan kepentingan korporasi dan para elit di tahun politik. Korporasi dapat pengampunan, para elit dapat ongkos politik,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional dalam siaran pers, Jumat (14/4/2023) lalu.
Menurut Uli Arta, pengampunan kejahatan kehutanan melalui Undang-undang Cipta Kerja melaju cepat di tahun politik. Uli menyebut dipastikan KLHK akan menyelesaikan program pengampunan ini sebelum 2 November 2023, sebagaimana mandat 110 A dan 110 B.
"Tentunya batas tenggang waktu ini bukan tanpa konteks yang jelas," jelas Uli.
Berdasarkan tahapan pemilu, pada 19 Oktober 2023 hingga 25 November 2023 adalah masa waktu pendaftaran presiden dan calon wakil presiden, gubernur dan calon wakil gubernur, serta bupati dan calon wakil bupati. Maka setidaknya awal November konsolidasi kepentingan antara, partai-partai politik dan pemberi biaya sudah harus selesai. Hal ini diperkuat dengan proses yang begitu tertutup oleh KLHK.
Uli juga menambahkan subjek hukum selain korporasi juga patut diperiksa lebih jauh. Pasalnya, dalam SK diidentifikasi individu-individu yang memiliki kebun sawit di hutan dengan luasan di atas 25 hektar.
Uli Arya mencuplik temuan dari terbitnya SK Menteri LHK tahap XI di mana teridentifikasi sebanyak 31 individu yang memiliki kebun sawit di atas 25 hektar. Selain individu, kelompok tani dengan komoditas sawit juga rentan dijadikan modus oleh korporasi untuk bisa mendapatkan pengampunan.
"Fakta-fakta yang sering ditemui di lapangan, korporasi membentuk kelompok plasma yang anggotanya merupakan karyawan-karyawan perusahaannya, ataupun beberapa kelompok masyarakat, untuk bisa mendapatkan akses legal di kawasan hutan”, kata Uli.
Desak KPK Mengawasi
Terpisah, Managing Partner AZ Law Office & Conflict Resolution Center Ahmad Zazali SH, MH menyatakan, munculnya isu dugaan adanya oknum KLHK yang membuka praktik bisnis konsultan kehutanan sungguh miris. Ia menyesalkan sikap KLHK yang tertutup sejak inventarisasi dan pengadministrasian subjek hukum penguasa hutan tanpa izin dilakukan.
"Mengingat kabar angin mulai berhembus kalau ada oknum-oknum di KLHK yang ikut bermain menawarkan jasa konsultan kepada subjek hukum yang membayar denda sebagai syarat pengampunan, maka hal ini sangat disayangkan," tegas Ahmad Zazali yang sejak tahun lalu sudah bersuara keras agar KPK memonitor tahapan di KLHK.
"Kan jadi lucu tapi miris. Kalau di Kementerian Keuangan ada jasa konsultan pajak, maka isu saat ini di Kementerian LHK ada konsultan jasa pengurusan keterlanjuran usaha tanpa izin dalam kawasan hutan," jelas Zazali yang juga merupakan Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA).
Menurutnya, publik tidak mengharapkan isu miring di Kementerian Keuangan terjadi juga di Kementerian LHK. Apalagi cuan yang diharapkan negara dari pembayaran denda kehutanan sangat besar mencapai triliunan rupiah.
"Mengingat potensi pendapatan negara dari pembayaran denda pemanfaatan hutan tanpa izin ini bisa mencapai puluhan hingga ratusan triliunan rupiah jika dapat dimaksimalkan. Jadi, mestinya para pihak terlibat dan dilibatkan," tegas Zazali.
Ia meminta agar KLHK melibatkan partisipasi pemangku kepentingan daerah dan membuka secara transparan nama-nama serta proses pengampunan melalui pembayaran denda yang ditetapkan pemerintah. Hal ini agar ada kontrol dari publik jika ada oknum KLHK maupun afiliasi kekuatan politik ingin bermain curang meloloskan subjek hukum dari denda.
"KPK juga diharapkan turun tangan melakukan pengawasan untuk menekan adanya potensi 'kongkalikong' dalam pengurusan denda dan pengampunan sektor kehutanan ini," tegas Zazali. (*)