Walhi Riau Sebut Penghentian Tambang Pasir Laut PT Logo Mas Utama Cuma Kemenangan Kecil: 61 Persen Pulau Rupat Dikuasai Korporasi!
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mengapresiasi langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghentikan secara permanen kegiatan penambangan pasir laut oleh PT Logo Mas Utama (LMU) di Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Tindakan KKP dinilai sejalan dengan dorongan Walhi Riau dan tuntutan nelayan Desa Suka Damai dan Titi Akar Kecamatan Rupat Utara yang sejak beberapa tahun lalu menolak keberadaan kegiatan tambang pasir laut.
"Keberadaan tambang tersebut sangat berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan menurunkan hasil tangkapan para nelayan tradisional yang mayoritasnya Suku Akit," kata Even Sembiring, Direktur Walhi Riau dalam keterangan tertulis diterima SabangMerauke News, Jumat (23/6/2023).
Even menyebut pemberhentian ini masih merupakan kemenangan kecil dari tuntutan masyarakat agar Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Logomas Utama dicabut.
“Perlu secara cepat Gubernur Riau merespon KKP dengan mencabut IUP PT Logomas Utama. Karena berdasarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2022, kewenangan itu sekarang berada di tangan Gubernur,” kata Even Sembiring.
Ia meminta KKP harus segera menetapkan laut utara Rupat sebagai wilayah konservasi perairan, sebab jika tidak maka aktivitas pihak luar yang merusak terumbu karang dan padang lamun karena penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan akan tetap berjalan.
Pulau Rupat Dikuasai Perusahaan
Selain izin usaha pertambangan (IUP) PT LMU dan aktivitas tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan yang masih eksis, ancaman lain yang dihadapi Pulau Rupat adalah keberadaan perusahaan perkebunan skala besar.
Analisis perizinan yang dilakukan Walhi Riau memperlihatkan sebanyak 61,7 persen daratan Pulau Rupat telah dikapling untuk kepentingan korporasi. Sedikitnya terdapat tujuh perusahaan perkebunan dan kehutanan yang beraktivitas di Pulau Rupat. Kondisi ini menurut Walhi Riau, tidak memberikan keadilan bagi 49.480 jiwa penduduk atau 14.175 kepala keluarga (KK) di Pulau Rupat.
Tokoh Masyarakat Riau, Azlaini Agus menyatakan penghentian permanen operasional penambangan pasir laut di Pulau Rupat oleh KKP adalah kebijakan pemerintah yang patut diapresiasi serta merupakan kabar baik untuk warga Riau, terutama warga Pulau Rupat.
Selain itu Azlaini juga menuntut agar Pemerintah meninjau kembali serta mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023.
Menurutnya, terbitnya PP tersebut akan mengakibatkan dampak yang merugikan masyarakat dan akan menimbulkan banyak persoalan di masa yang akan datang. Menjadikan pasir laut sebagai salah satu hasil sedimentasi yang dapat dikeruk menyebabkan lingkungan (ekosistem) laut rusak dan hasil tangkap nelayan akan berkurang dan punah. Di sisi lain, PP ini juga mengancam keamanan dan pertahanan NKRI karena jika marak tambang beroperasi, pulau-pulau kecil di wilayah terluar juga akan terancam hilang, seperti yang terjadi pada Pulau Nipah di Kepulauan Riau.
“Sebagai warga Riau yang turut berjuang menyelamatkan pulau-pulau kecil dari daya rusak tambang pasir laut sejak 1998, saya menolak pemberlakuan PP 26 Tahun 2023,” tutur Azlaini.
Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Keadilan Iklim Walhi Riau mengatakan, dengan luas 150.288 hektar, Pulau Rupat sebagai pulau kecil terluar memiliki beban ancaman yang tinggi baik di wilayah darat maupun laut.
“Pulau Rupat termasuk kategori pulau kecil, sudah seharusnya tidak diberi izin baik di darat maupun laut,” ucap Eko Yunanda.
Eko menyampaikan apresiasinya terhadap Langkah KKP untuk menghentikan aktivitas tambang pasir laut di Rupat. Namun, ia mendesak kementerian/ lembaga yang bertanggung jawab untuk urusan kelautan, wilayah pesisir, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan pulau-pulau kecil untuk melakukan evaluasi legalitas perizinan di Pulau Rupat, dan memberikan jaminan keamanan terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan baik darat maupun di laut Rupat.
Rekomendasi Izin PT LMU Dicabut
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan telah menghentikan secara permanen aktivitas perusahaan tersebut. KKP menyebut penghentian aktivitas PT Logo Mas Utama tersebut sebagai bentuk komitmen KKP dalam melindungi ekosistem pesisir Pulau Rupat.
"Pada intinya, kegiatan tambang di Pulau Rupat sudah resmi kami stop karena terbukti menimbulkan kerusakan ekosistem mangrove dan padang lamun", ungkap Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Laksda TNI Adin Nurawaluddin dalam keterangannya, Rabu (21/6/2023).
Adin menjabarkan bahwa sebelumnya KKP telah menyegel kapal penambang pasir PT LMU dan melakukan paksaan pemerintah dengan menghentikan kegiatan penambangan dan pengangkutan pasir laut di Pulau Babi, Beting Aceh, dan Pulau Rupat.
Hal itu dilakukan karena diduga kegiatan itu menyebabkan kerusakan ekosistem di sekitarnya pada akhir Februari 2022.
"Kami sudah bentuk tim ahli ekosistem pesisir dan laut untuk kasus yang ada di Rupat. Hasil analisa terhadap kerusakan yang terjadi di perairan Pulau Rupat, memang benar bahwa 25% kerusakan disebabkan faktor alam sedangkan 75% sisanya disebabkan faktor tindakan atau kelalaian manusia" papar Adin.
Atas kerusakan yang ditimbulkan, Adin secara tegas menyampaikan bahwa KKP secara permanen telah menghentikan kegiatan penambangan di wilayah tersebut. KKP juga telah menyampaikan permintaan evaluasi perizinan penambangan di perairan Pulau Rupat kepada Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM).
Selain itu, PT. LMU dan perusahaan lain yang turut menyebabkan kerusakan juga dikenakan denda administratif sebagai pertanggung jawaban atas kerusakan yang ditimbulkan.
Untuk menghindari banyaknya penambangan pasir pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sendimentasi Laut. Ia menegaskan bahwa PP itu tidak akan memberikan ruang untuk menambang pasir laut dengan dalih sedimentasi.
"Justru penerbitan PP 26 Tahun 2023 ini salah satunya untuk mengantisipasi kasus-kasus seperti di pulau Rupat supaya tidak terjadi lagi", terang Adin.
Adin menekankan bahwa dengan terbitnya PP Nomor 26 Tahun 2023, lokasi tambang sendimen hanya dapat ditentukan berdasarkan penelitian tim ahli. Sehingga lokasi yang boleh ditambang adalah lokasi yang terdapat sendimen yang boleh diambil, bukan pasir yang menjadi bagian penting dalam keberadaan pulau atau ekosistem laut.
"Sebelum ada PP 26/2023 kan kurang jelas, pasir dianggap sebagai salah satu materi pertambangan. Nah, dengan adanya PP 26/2023, penambangan di Pulau Rupat menjadi tidak diperbolehkan selamanya karena di lokasi tersebut tidak mungkin ditetapkan sebagai lokasi sendimen karena merupakan pulau-pulau kecil terluar yang dilindungi", ujar Adin.
Lebih lanjut Adin menerangkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar dan Keppres No.6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar, pemanfaatan Pulau Rupat hanya diperbolehkan untuk wilayah pertahanan, konservasi dan kesejahteraan masyarakat.
"Sekali lagi saya tegaskan Pulau Rupat tidak diperbolehkan untuk kegiatan penambangan, penegasan ini kami harapkan menjawab kegelisahan nelayan sekitar Pulau Rupat", pungkas Adin.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menyebutkan bahwa pengelolaan sedimentasi usai terbitnya PP Nomor 26 Tahun 2023 adalah bertujuan melindungi ekologi untuk menjaga keberlanjutan ekosistem.
Hal ini diwujudkan dengan strategi pengawasan yang ketat melalui patroli Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan yang terintegrasi dengan teknologi satelit supaya tidak akan ada lagi kegiatan tambang yang merusak kelestarian laut. (*)