Ngeri! Bupati Langkat Dituding Kerangkeng Manusia dan Lakukan Perbudakan
SabangMerauke News, Langkat - Kejahatan lain diduga dilakukan oleh Bupati non-aktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin.
Sebelumnya, Terbit tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama 7 orang lain pada Selasa (18/1/2022). Ia lantas ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis, (20/1/2022).
Kasus yang menjerat Terbit terkait dengan suap proyek lelang dan penunjukan langsung pelaksanaan paket proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Langkat.
Terbit dan sejumlah tersangka lainnya kini telah ditahan. KPK pun terus mendalami kasus ini.
Belum genap seminggu kasusnya bergulir, kini dugaan kejahatan lain mengarah ke Terbit. Ia disinyalir melakukan perbudakan terhadap puluhan manusia.
Temuan kerangkeng penjara
Dugaan tindak perbudakan manusia itu pertama kali diungkap oleh Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care).
Menurut Migrant Care, pihaknya menerima laporan adanya kerangkeng manusia serupa penjara, yakni berupa besi yang digembok, di dalam rumah Terbit.
Diduga, kerangkeng itu digunakan sebagai penjara bagi para pekerja sawit yang bekerja di ladang bupati tersebut.
"Kerangkeng penjara itu digunakan untuk menampung pekerja mereka setelah mereka bekerja. Dijadikan kerangkeng untuk para pekerja sawit di ladangnya," kata Ketua Migrant Care Anis Hidayah, Senin
(24/1/2022).
Anis mengungkapkan, ada dua sel dalam rumah Bupati yang digunakan untuk memenjarakan sekitar 40 orang pekerja.
Jumlah pekerja itu kemungkinan besar lebih banyak daripada yang saat ini telah dilaporkan.
Mereka disebut bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya. Selepas bekerja, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng selepas kerja, sehingga tak memiliki akses keluar.
Para pekerja bahkan diduga hanya diberi makan dua kali sehari secara tidak layak, mengalami penyiksaan, dan tak diberi gaji.
"Mereka tentu tidak punya akses komunikasi dengan pihak luar. Mereka mengalami penyiksaan, dipukul, lebam, dan luka," ujar Anis.
"Selama bekerja mereka tidak pernah menerima gaji," ungkapnya.
Migrant Care menilai bahwa situasi ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip pekerjaan layak yang berbasis HAM, dan prinsip antipenyiksaan.
Terlebih, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia melalui Undamg-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
"Bahkan situasi di atas mengarah pada dugaan kuat terjadinya praktik perbudakan modern dan perdagangan manusia yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang," kata Anis.
Ditindak Komnas HAM
Laporan ini pun diteruskan oleh Migrant Care ke Komisi Nasional ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Dalam laporannya, Migrant Care melampirkan sejumlah dokumentasi, termasuk foto seorang pekerja yang babak belur diduga imbas penyiksaan.
Migrant Care meminta Komnas HAM segera melakukan langkah konkret untuk mengusut praktik ini.
Sebab, bukan saja keselamatan para pekerja yang terancam, kasus ini juga diduga memiliki unsur tindak pidana perdagangan orang/human trafficking.
Sementara, merespons laporan ini, Komisioner Komnas HAM Muhammad Choirul Anam, mengatakan bahwa pihaknya bakal secepat mungkin melakukan investigasi.
"Atas aduan ini kami akan segera kirim tim ke sana, ke Sumatera Utara, terus juga berkomunikasi dengan berbagai pihak," kata Anam, Senin.
"Karakter kasus semacam ini, dalam konteks skenario hak asasi manusia, memang harus cepat, apalagi jika ada dugaan penyiksaan," tambahnya.
Anam berujar, semakin lambat proses investigasi dilakukan, maka semakin lama pula para korban bisa memperoleh perlindungan.
"Jangan sampai hari ini hilang satu gigi, karena kita lama meresponsnya, besok hilang dua gigi atau tiga gigi. Semakin cepat maka akan semakin baik pencegahan ini," kata dia.
Investigasi lebih jauh perlu dilakukan karena masih ada sejumlah tanda tanya yang belum dapat dijawab dari keberadaan kerangkeng manusia ini.
Misalnya, mengenai jumlah pasti pekerja yang dikurung di sana, dari mana asal para pekerja, sejak kapan praktik itu terjadi, hingga keterkaitan Terbit dengan perkebunan sawit.
Anam menyebutkan, sebelum menerima laporan resmi dari Migrant Care, pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan tim pemantauan internal.
"Jadi kami akan tangani dalam skema urgent response, cepat," tutur dia.
Anam menambahkan, Terbit bisa saja diproses hukum akibat kasus ini, meski saat ini bupati non-aktif itu mendekam di sel tahanan KPK sebagai tersangka suap.
"Kalau memang ditemukan ada kasus penyiksaan, ditemukan ada kasus perdagangan orang, ya tentu kasus ini berbeda dengan kasus korupsinya dan harus tetap dijalankan proses. Jadi berbeda dengan kasus korupsinya, ini bisa kena penyiksaan, bisa juga kena perdagangan orangnya," kata dia.
Temuan versi polisi
Laporan Migrant Care ini rupanya tak sama dengan temuan pihak kepolisian. Kepolisian Sumatera Utara mengaku sudah menemukan tempat menyerupai kerangkeng manusia yang diduga digunakan sebagai alat praktik perbudakan modern di rumah Bupati non-aktif Terbit di Langkat, Sumut.
Dari penelusuran polisi, kerangkeng itu sudah ada sejak 10 tahun lalu. Namun demikian, kerangkeng tersebut dipakai untuk praktik rehabilitasi bagi para pecandu narkoba.
Sebab, saat melakukan pemeriksan di lokasi, polisi menemukan beberapa orang di dalam kerangkeng itu yang diduga kecanduan narkoba.
"Dari pendataan atau pendalaman itu bukan soal 3-4 orang itu. Tapi kita dalami itu masalah apa. Kenapa ada kerangkeng," kata Kapolda Sumut, Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak, Senin (24/1/2022).
"Dan ternyata dari hasil pendalaman kita, itu memang adalah tempat rehabilitasi yang dibuat yang bersangkutan secara pribadi yang sudah berlangsung selama 10 tahun untuk merehabilitasi korban pengguna narkoba," tuturnya.
Panca pun menyebut bahwa praktik rehabilitasi bagi para pacandu narkoba ini belum mengantongi izin.
Oleh karenanya, ia mendorong supaya Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumut memfasilitasi praktik rehabilitasi itu.
"Yang begini ini harus terus kita (dorong). Kita tahu Provinsi Sumut jadi tempat nomor 1 dan ini jadi konsen kita. Kita harus tumbuh kembangkan tempat-tempat rehabilitasi swasta karena pemerintah tak mampu. Dan tentu harus legal," katanya.
Di sisi lain, dari penyelidikan sementara, pihak kepolisian mengaku tak menemukan tanda-tanda penganiayaan terhadap para pekerja.
Namun, Panca mengatakan, pihaknya akan menyelidiki luka memar pada orang yang ada di dalam kerangkeng itu.
"Masih didalami tapi saya tanya ke anggota di lapangan kenapa kok ada memar itu akibat dari karena biasanya dia melawan. Dan orangnya juga sedang tak sadar juga. Kita periksa masih tes urinnya, masih positif," ujarnya.
Meski berbeda dengan temuan polisi, Panca mempersilahkan Migrant Care membuat laporan terkait dugaan perbudakan modern itu. "Silakan melapor. Saya kan sampaikan berdasar hasil pemeriksaan ketika melakukan penangkapan kemarin. Dan tidak ada penganiayaan," katanya. (*)