Kiprah Suami Istri Kadarsiono-Farida, Penjaga Kedaulatan Negara di Pesisir Kepulauan Meranti Ujung Indonesia Lewat Mangrove
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Abrasi menjadi ancaman serius di wilayah Indonesia yang berada di Kabupaten Kepulauan Meranti, berbatasan langsung dengan negeri jiran Malaysia. Sebagai teras NKRI, pulau ini mengalami krisis wilayah pesisir yang saban tahun menggerus daratan pulau.
Sebanyak 188 desa Kabupaten Kepulauan Meranti masuk kategori titik referensi Indonesia yang tertuang dalam PP 37 Tahun 2018. Daerah ini juga telah ditetapkan sebagai Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) oleh Presiden Republik Indonesia yang dimuat dalam Perpres pada tahun 2017 silam.
Kepulauan Meranti juga masuk dalam Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) seperti yang tertuang dalam PP 63 Tahun 2010. Lokasi tersebut tepatnya di Pulau Rangsang, Kepulauan Meranti yang saat ini menjadi titik terparah bencana abrasi di Provinsi Riau.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kepulauan Meranti Kepulauan Meranti menyebut total garis pantai yang amblas karena abrasi di Kepulauan Meranti saat ini sepanjang 106, 87 Km.
Daerah sebarannya meliputi Pulau Rangsang dengan panjang dampak abrasi berkisar 73,47 Km yang terdiri dari Kecamatan Rangsang Pesisir 44,8 Km, Kecamatan Rangsang 17,92 Km dan Kecamatan Rangsang Barat sepanjang 10,75 Km.
Sementara di Pulau Merbau, pantai yang tergerus abrasi sepanjang 21,3 Km. Jumlah tersebut terdiri dari Kecamat Tanjung Bomat 5,2 Km, Kecamatan Tanjung Kingkong 16,1 Km, Pulau Padang sepanjang 6,6 Km, dan Kecamatan Merbau 6,6 Km.
Sisanya lagi terdapat di Pulau Tebingtinggi dengan panjang abrasi sepanjang 5,5 Km tepatnya di Pantai Mekong, Kecamatan Tebingtinggi Barat.
Tak banyak yang dapat dilakukan pemerintah daerah dan masyarakat setempat, karena fungsi penanggulangan menjadi wewenang pemerintah provinsi dan pusat. Pemerintah daerah hanya bersifat mengajukan usulan revitalisasi wilayah pesisir.
Selain itu pemkab, juga sebatas menyosialisasilan pentingnya keberadaan alam untuk memacu inisiatif masyarakat agar dapat mandiri dalam melakukan pemulihan.
Perjuangan Kadarsiono
Tak banyak masyarakat yang terpanggil untuk menggagas penanggulangan krisis wilayah pesisir secara mandiri. Tapi, bagi Kadarsiono warga Anak Setatah Pulau Rangsang, panggilan menjaga mangrove muncul dari dalam hatinya.
Berawal dari tugasnya pada tahun 2004 sebagai kepala desa setempat, ia telah mengawasi para penebang mangrove dan pelaku tangkap ikan menggunakan racun. Kedua praktik ini dilarang di Pulau Rangsang.
Aturan ini dilakukan karena kekhawatiran mangrove terus berkurang hingga memperparah abrasi. Kadarsiono lalu berpikir untuk budidaya mangrove.
Hingga 2 tahun berikutnya, dia mendirikan kelompok pelestarian wilayah pesisir bernama Tegas.
Kadarsiono bersama dengan sang istri, Farida mengembangkan bibit mangrove menggunakan uang pribadi. Sesekali Kadar mengajak anak-anaknya dan keluarga mencari bibit dengan sampan menyusuri desa-desa yang ditumbuhi mangrove di Pulau Rangsang.
Kadarsiono dan Farida, sampai berjualan rambutan dan durian dari kebun mereka untuk membeli polybag. Hal yang dia lakukan tersebut semata-mata untuk menahan laju abrasi.
"Ini demi wilayah kami. Masyarakat pun mulai ada yang respon," kata Farida beberapa waktu lalu.
Mereka membibit mangrove di sungai kecil samping rumah, dalam kubangan lumpur ketika sungai itu kering. Setelah usia bibit 3 bulan, Kadar mengajak murid sekolah di Anak Setatah untuk membantu menanam di sepanjang tepi laut Dusun Karet, tak jauh dari belakang rumah Kadar.
Kadar bilang, tak punya biaya memadai untuk melakukan pekerjaan ini sendirian.
"Anak-anak sekolah yang mau bantu itu hanya saya kasih uang jajan yang tak seberapa," katanya.
Bukan tanpa tantangan, Kadar dan Farida, harus menghadapi cemoohan serta hinaan dari masyarakat pada awal-awal dia merintis pembibitan mangrove ini karena dianggap pekerjaan mustahil. Mengingat bibit kayu api-api tak mudah tumbuh.
Berulangkali Kadar dan keluarga turun ke lumpur menyulam kembali bibit-bibit yang hanyut disapu ombak. Baginya, menanam mangrove harus sabar dan perlu ketekunan.
Dalam melakukan pembibitan, Kadarsiono yang membentuk Kelompok Tegas juga melibatkan masyarakat tempatan, khususnya kaum perempuan.
“Untuk menyelamatkan pulau dari abrasi melalui program penanaman mangrove, kita juga bekerja sama dengan kelompok lingkungan lainnya. Agar pencegahan bisa dilakukan lebih cepat,” sebut Kadarsiono.
Penerima penghargaan Adibakti Mina Bahari dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI itu mengatakan, hingga saat ini pihaknya sudah menanam bakau lebih dari 50 hektar.
"Untuk saat ini Desa Bantar dan Anak Setatah sudah aman dari abrasi, sedangkan Desa Permai belum semuanya. Jika dulu dalam satu tahun abrasi bisa menggerus bibir pantai sebanyak 20 meter," kata Kadarsiono.
Untuk menjaga kesinambungan kegiatan kelompok pelestari, kata Kadarsiono, dirinya bersama para anggota kelompok lainnya juga pernah secara sukarela menyumbangkan hasil penjualan batang rumbia (sagu), ikan dan jengkol untuk mendukung kegiatan pembibitan dan penanaman mangrove.
“Kami pernah berdagang keliling dan pernah gadaikan surat tanah ke bank untuk menutupi utang kepada masyarakat yang dipekerjakan pada kegiatan pembibitan dan penanaman mangrove,” ungkapnya.
Kini, mangrove yang ditanam sejak bertahun lalu itu tumbuh subur dan padat dengan akar-akar rapat. Kadar sengaja melakukan itu di belakang rumah untuk membuktikan pada orang yang tak percaya bahwa menyelamatkan abrasi bisa dengan menanam api-api.
"Kita tunjukan bukti, bukan omongan saja," katanya.
Masyarakat Mulai Sadar
Perlahan masyarakat mulai sadar, bahkan gerakan membantu Kadar membibit mangrove mulai bermunculan. Tanpa disadari juga Kadarsiono dan keluarganya juga ikut menjaga kedaulatan negara, dimana Pulau Rangsang juga bagian dari daerah terluar yang berada di tepian Selat Malaka dan berbatasan langsung dengan Malaysia.
Lambat laun pemerintah mulai mengetahui kegiatan Kadar bersama masyarakat. Bantuan pun mulai mengucur untuk Kelompok Tegas. Hal ini, katanya, bisa membantu meringankan biaya mereka untuk beli polybag, bahkan memberi uang lelah pada masyarakat yang sudi berkubang di lumpur memasukkan bibit ke wadah.
Hingga saat ini, Kelompok Tegas memiliki ketersediaan ribuan bibit mangrove dengan berbagai jenis. Ada yang mulai membeli. Permintaan pun datang dari luar Kepulauan Meranti. Kadang, bibit itu juga diserahkan dengan sukarela. Asal, katanya, mereka benar-benar tak punya uang dan mau menanam.
Siswa dan mahasiswa paling sering minta bibit mangrove Kadar, termasuk mahasiswa yang tengah mengikuti kuliah kerja nyata.
Sejak 2009, mangrove hasil pembibitan Kelompok Tegas sudah tersebar ke mana-mana. Kadar pun mulai dikenal, hingga tamu dari luar daerah sering datang di rumahnya.
Hal itu juga membuatnya kerap diundang jadi pembicara soal mangrove dan penyelamatan wilayah pesisir dari abrasi. Kadar juga jadi pembina adiwiyata di beberapa sekolah di Kepulauan Meranti.
Tak jarang pemerintah mengajaknya untuk menjadi tim penilai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan. Sehingga sejumlah penghargaan juga berhasil ia terima.
Di antaranya Penghargaan Setia Lestari Bumi dari Bupati Kepulauan Meranti 2009-2011. Pada tahun 2014, dia meraih juara I Adibakti Mina Bahari kategori pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Tahun 2015, pada Hari Nusantara dan Hari Ikan Nasional, dia meraih juara pada penilaian kelompok masyarakat pengawas tingkat Riau. Tahun 2017, dia kembali diberi penghargaan oleh Bupati Kepulauan Meranti sebagai penyelamat lingkungan.
Kadar terus membibit dan menanam mangrove di sepanjang bibir pantai yang terkena abrasi di Pulau Rangsang, sembari belajar mengenal jenis-jenis mangrove berikut istilah latinnya.
Pengetahuan itu sebagai modal jadi pembicara di berbagai daerah.
"Saya belajar otodidak. Saya dapatkan ilmu itu justru dari mahasiswa dan peneliti yang datang ke rumah ini," pungkasnya.
Dari data yang dirangkum, Kepulauan Meranti menjadi daerah terpanjang di Riau yang terdampak abrasi yaitu 106,87 kilometer.
Dari data tersebut bahkan diprediksi garis pantai akan bergeser 772,4 meter ke arah darat dari garis pantai.
Adapun laju abrasi yag terjadi di Kecamatan Rangsang Pesisir tidak kurang 3,6 meter setiap tahunnya. Begitu juga di Kecamatan Rangsang hingga 8 meter dan Kecamatan Rangsang Barat 8,8 meter setiap tahunnya.
Beberapa faktor yang mempengaruhi abrasi di Kepulauan Meranti di antaranya kurangnya pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove. Sehingga mangrove kerap diambil sebagai sumber penghasilan ekonomi bagi kalangan tertentu. Banyak yang menebang untuk dijual dan dijadikan bahan baku pembuatan arang.
Abrasi juga terjadi karena faktor karakteristik tanah gambut, gelombang dan arus laut yang besar dari Selat Malaka.
Abrasi kemudian mempengaruhi pertahanan keamanan. Panjang garis pantai juga berkurang hingga mempengaruhi luas wilayah negara.
Dari kajian pemkab Kepulauan Meranti sebelumnya, kebutuhan anggaran sesuai dengan sebaran abrasi di Kepulauan Meranti sangat besar yaitu Rp 3,6 triliun lebih. (R-01)