Inilah 10 Negara Dalam Cengkeraman Utang Terbesar ke China, Kekayaan Alamnya Terpaksa Digadaikan
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Sejumlah negara di belahan dunia kini mengalami ketergantungan ekonomi terhadap pinjaman dari China. Utang negara tersebut menumpuk untuk penbiayaan proyek infrastruktur.
Melalui strategi “Going Global” dan Belt and Road Initiative, China telah muncul sebagai kreditur resmi terbesar di dunia.
Negara-negara berkembang membutuhkan infrastruktur fisik dan digital--termasuk jalan, jalur pipa, dan jaringan serat optik--untuk mengangkut orang, barang, dan informasi guna menumbuhkan ekonomi dan meningkatkan taraf hidup warganya.
Bagi banyak negara, terutama yang memiliki risiko kredit tinggi, China kini menjadi lender of first resort.
Menurut AidData, sebuah laboratorium penelitian yang diselenggarakan di William & Mary, komitmen pembiayaan pembangunan internasional tahunan China melebihi komitmen AS dan kekuatan besar lainnya dengan basis 2 banding 1 atau lebih.
Melansir globelynews.com, lonjakan bantuan, pembiayaan, dan investasi luar negeri China telah memicu tuduhan “diplomasi perangkap utang.”
Kritikus China menuduh bahwa strategi itu bertujuan untuk membebani negara-negara berkembang dalam pinjaman, memaksa mereka untuk membuat konsesi strategis--seperti memberikan akses jangka panjang ke pelabuhan komersial yang mungkin memiliki nilai militer--dengan imbalan restrukturisasi atau pengampunan utang.
Kongo merupakan salah satu negara yang memiliki utang terbesar kepada China. Bahkan, negara itu menduduki posisi teratas.
Penguasaan tambang Kongo oleh China memang tak lepas dari skema investasi dan utang yang diberikan China kepada banyak negara berkembang yang tengah gencar membangun infrastrukturnya, termasuk Kongo.
Kekayaan tambang Kongo diperkirakan lebih dari Rp1.305 triliun. Maraknya investasi dan utang China merupakan kondisi untuk mengisi kekosongan dalam pasar pembiayaan pembangunan kepada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang menurut pemerintah AS, biaya pembangunan infrastruktur masa depan yang diperlukan melebihi USD40 triliun.
Saat ini Kongo tengah memperjuangan jatah lebih besar atas kekayaan tambangannya yang saat ini dikuasai perusahaan China harus diacungi jempol.
Venezuela adalah negara dengan eksposur utang terbesar ke China, dalam hal pinjaman langsung (tidak termasuk kepemilikan portofolio), menurut studi AidData tahun 2021, dengan total USD74,7 miliar.
Daftar berikutnya yakni Angola dengan besaran utang mencapai USD 39,9 miliar, diikuti oleh Pakistan sebesar USD24,4 miliar, Ethiopia USD10,9 miliar dan Sri Lanka sebesar USD10,4 miliar.
Penerima pembiayaan China lainnya semuanya adalah negara dengan ekonomi dengan ukuran yang berbeda-beda.
Secara umum, semakin besar ekonomi, semakin banyak utang yang mampu diambil suatu negara. Jadi, metrik yang lebih berharga bagi negara-negara yang menghadapi risiko terbesar dalam meminjam dari China adalah rasio utang terhadap PDB, yang mewakili jumlah utang sebanding dengan output ekonomi (ukuran ukuran ekonomi).
Praktik pinjaman luar negeri China terkenal buram. Kurangnya transparansi sering dibangun ke dalam kontrak. Beijing menggerakkan pihak-pihak yang lebih lemah untuk menyetujui perjanjian non-disclosure.
Akibatnya, ketentuan dan bahkan skala pinjaman Beijing sering dikaburkan. Baik studi AidData maupun penelitian oleh para sarjana di Institut Kiel di Jerman juga menunjuk ke arah “hutang tersembunyi” dalam jumlah ratusan miliar dolar yang terutang ke China.
Sebuah studi tahun 2021 oleh China Africa Research Initiative di Universitas Johns Hopkins memperkirakan bahwa utang aktual Zambia kepada China adalah dua kali lipat dari jumlah yang dilaporkan oleh pemerintah negara sebelumnya.
Berikut adalah 10 negara yang berutang paling banyak ke China melalui pinjaman langsung berdasarkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara mereka menurut AidData:
10. Zambia: 27%
9. Laos: 27,1%
8. Samoa: 29,4%
7. Kyrgyzstan: 29,9%
6. Suriname: 30,2%
5. Angola: 34,0%
4. Maldives: 37,8%
3. Djibouti: 40,3%
2. Equatorial Guinea: 46,8%
1. Kongo: 49,7%. (*)