Dugaan Pencemaran Lingkungan Dampak Pengeboran Sumur Minyak PHR di Rohil, DLH Ambil Sampel Bawa ke Laboratorium
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Tim Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Rokan Hilir turun ke daerah lokasi pengeboran sumur minyak PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) di Dusun Manggala Lima, Manggala Sakti Kecamatan Tanah Putih, Kamis (25/5/2023).
Langkah tersebut dilakukan menindaklanjuti pengaduan warga yang disampaikan melalui Datuk Penghulu Manggala Sakti terkait dugaan pencemaran lingkungan yang terjadi dampak pengeboran sumur minyak.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Suwandi melalui Kepala Bidang Penataan dan Pentaatan DLH Rohil, Carlos Roshan mengatakan kedatangan pihaknya untuk melakukan pengambilan sampel ke lapangan. Sampel akan dibawa ke laboratorium untuk memastikan dugaan pencemaran yang terjadi terhadap sumur air milik warga akibat dampak pengeboran minyak oleh PHR melalui mitra kerjanya.
Datuk Penghulu Manggala Sakti, Muslim menjelaskan, pihak PHR tidak kooperatif terhadap hasil mediasi yang difasilitasi oleh Kapolsek Tanah Putih pada 13 September 2022 tahun lalu.
Hal ini membuat masyarakat di sekitar sumur minyak kesal serta kecewa. Mereka menilai PHR telah menganggap masyarakatnya tidak perlu diperhatikan terkait dugaan pembiaran limbah yang tercemar ini.
Camat Tanah Putih Emelda berharap agar PHR benar-benar berkomitmen untuk merespon keluhan masyarakat.
"Kasihan masyarakat kita, apalagi sumber air yang selalu digunakan diduga sudah tercemar oleh imbas pengeboran minyak ini," ujar Emelda.
Sebelumnya, Datuk Penghulu Manggala Sakti Muslim SE mengirim sepucuk surat tertanggal 16 Mei 2023 kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Rokan Hilir.
Surat pengaduan dilayangkan sehubungan dengan adanya laporan masyarakat RT 003 RW 014 Dusun Manggala Lima Kepenghuluan Manggala Sakti Kecamatan Tanah Putih tentang pengeboran minyak PT Pertamina Hulu Rokan yang berdampak terhadap lingkungan.
Dalam pengaduannya, Penghulu Manggala Sakti menyebut dugaan pencemaran diindikasi telah membuat air sumur berubah warna dan berasa asam. Selain itu, udara lingkungan kini berbau limbah. Keluhan lain yakni munculnya kebisingan akibat pengeboran sumur minyak mengakibatkan warga susah tidur.
Sebelumnya, warga terdampak pengeboran sumur minyak PHR sudah menggelar aksi unjuk rasa damai di lokasi proyek pada Agustus 2022 lalu. Namun, mediasi yang digelar tak menghasilkan kesepakatan apapun. Warga kecewa lantaran PHR dan mitra kerjanya tidak memiliki kepedulian terhadap warga sekitar.
Dalam mediasi terakhir yang digelar pada 18 Mei lalu, juga tak membuahkan kesepakatan bersama. Warga lantas menuntut agar rig tidak dioperasikan sebelum tuntutan mereka dipenuhi.
"Kami Pemerintah Kepenghuluan Menggala Sakti memohon kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Rokan Hilir agar menindaklanjuti permasalahan tersebut," kata Penghulu Menggala Sakti dalam surat pengaduannya ke Kadis DLH Rokan Hilir.
Dugaan Air Tercemar
Diwartakan sebelumnya, sejumlah warga di Kepenghuluan Manggala Sakti, Kecamatan Tanah Putih, Rokan Hilir melakukan protes keras terhadap aktivitas pengeboran sumur minyak oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Dampak dari pengeboran diduga telah menyebabkan sumur air warga tercemar.
Warga melayangkan protes agar PHR bertanggung jawab atas terjadinya perubahan kualitas air sumur di rumahnya. Mereka khawatir sumur air warga yang diduga tercemar bila dikonsumsi akan berdampak pada kesehatan.
Datuk Penghulu Manggala Sakti, Muslim menjelaskan, protes warga sebenarnya sudah dilayangkan sejak 2022 lalu. Tapi sampai saat ini tuntutan masyarakat terdampak belum dipenuhi oleh PHR.
Menurutnya, PHR mengklaim batas radius terdampak yang bisa dicover hanya yang jaraknya maksimal 50 meter. Namun, dalam kenyataannya, sumur warga yang berada di luar radius 50 meter telah diduga terdampak aktivitas pengeboran minyak oleh kontraktor cucu perusahaan Pertamina tersebut.
"Kata PHR standarnya hanya radius 50 meter. Tapi fakta di lapangan di luar radius pengeboran itu juga kena dampaknya," kata Muslim, Kamis (18/5/2023) lalu.
Ia menerangkan, air sumur warga berbau dan berasa kandungan zat tertentu ketika diminum. Air juga mengalami perubahan warna dan saat dikonsumsi terasa seperti ada kandungan besi.
Muslim mengaku kalau pihaknya pernah melaporkan dugaan pencemaran tersebut ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) lewat sepucuk surat. Namun warganya lebih fokus terhadap janji PHR yang akan membayar kompensasi.
"Akan tetapi sampai kini tak kunjung dibayarkan," tegasnya.
Menurut Muslim, masyarakat tidak banyak menuntut PHR dan tuntutan dinilai sangat wajar. Warga hanya meminta kompensasi yakni uang sebesar Rp 20 ribu per hari untuk membeli air mineral dan keperluan masak.
Ia menjelaskan ada sekitar 35 kepala keluarga (KK) yang terkena imbas pengeboran sumur minyak PHR tersebut. Adapun warga yang terdampak bertempat tinggal berjarak sekitar 100 meter hingga 160 meter dari lokasi pengeboran sumur minyak PHR.
"Sementara perusahaan mengklaim standar yang diberikan kompensasi hanya yang berjarak sampai 50 meter," kata Muslim.
Muslim menjelaskan, terhadap warga yang tinggal radius hingga 50 meter dari lokasi pengeboran sumur minyak, diberi kompensasi sebesar Rp 50 ribu per orang.
"Jadi kalau di dalam rumah tersebut ada tuh orang, kompensasinya Rp 50 ribu dikali tujuh. Ini dibayar selama pengeboran berlangsung," tegas Muslim.
Hingga kini, pihak PT PHR belum memberikan penjelasan soal dugaan pencemaran lingkungan ini. (R-02)