Uni Eropa Resmi Tolak Produk Kelapa Sawit Penghancur Hutan, Ada Banyak di Indonesia Khususnya Riau
SABANGMERAUKE NEWS - Sebanyak 27 negara Uni Eropa secara resmi mengadopsi aturan baru yang akan membantu blok tersebut mengurangi kontribusinya terhadap deforestasi global. Aturan itu mengatur perdagangan serangkaian produk yang mendorong penurunan kawasan hutan di seluruh dunia.
Di bawah undang-undang tersebut, perusahaan yang memperdagangkan minyak kelapa sawit, ternak, kayu, kopi, kakao, karet, dan kedelai perlu melakukan verifikasi barang yang mereka jual di Uni Eropa (UE). Verifikasi itu memastikan, berbagai komoditas itu tidak menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan di mana pun di dunia sejak 2021.
Peraturan tersebut juga mencakup produk turunan seperti cokelat atau kertas cetak. Keberadaan hutan dinilai penting, sebagai cara alami untuk menghilangkan emisi gas rumah kaca dari atmosfer. Alasannya tumbuhan menyerap karbon dioksida saat tumbuh.
Menurut World Resource Institute, kawasan hutan seluas 10 lapangan sepak bola menghilang di dunia setiap menit. Uni Eropa mengatakan, tanpa peraturan baru tersebut, perlu ada pertanggungjawaban atas hilangnya 248 ribu hektare atau 612 ribu hektare deforestasi per tahun.
"Diimplementasikan secara efektif, undang-undang itu dapat secara signifikan mengurangi emisi rumah kaca yang dihasilkan dari pembukaan hutan tropis untuk makanan dan komoditas lainnya,” ujar Direktur regional Institut Sumber Daya Dunia untuk Eropa Stientje van Veldhoven, seperti dilansir AP News, Sabtu (20/5/2023).
Undang-undang tersebut, lanjutnya, bisa membantu melindungi keanekaragaman hayati dan sumber daya air yang kritis di hutan hujan tropis.
Undang-undang akan memaksa perusahaan menunjukkan barang yang mereka impor mematuhi aturan di negara asal. Termasuk tentang hak asasi manusia dan perlindungan masyarakat adat.
Van Veldhoven menambahkan, UE sekarang harus bekerja sama dengan negara produsen guna memastikan mereka dapat beradaptasi dengan undang-undang baru tanpa merugikan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat mereka.
“Ini akan membutuhkan insentif bagi kelompok rentan seperti petani kecil untuk beralih ke praktik bebas deforestasi, memastikan mereka tidak tertinggal dalam transisi ini,” jelasnya.
Disebutkan, hutan di seluruh dunia semakin terancam oleh penebangan kayu dan pertanian, termasuk kedelai dan kelapa sawit. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB memperkirakan, sebanyak 420 juta hektare atau 1,6 juta mil persegi hutan atau area yang lebih luas dari UE dihancurkan antara tahun 1990 dan 2020.
Pemberlakuan undang-undang baru soal deforestasi itu dilakukan pada awal pekan ini. Hanya saja, UU bernama EU Deforestation Regulation (EUDR) tersebut sebenarnya sudah disetujui sejak April namun resmi berlaku 16 Mei 2023 mendatang.
Adanya undang-undang itu membuat seluruh komoditas andalan Indonesia akan dilarang masuk ke negara anggota UE jika tidak lolos uni deforestasi. Kecuali daging sapi dan kedelai, serta berbagai produk lainnya.
Pada neraca perdagangan Indonesia 2022, ekspor minyak sawit dan produk turunannya, termasuk kulit dan produk turunannya, lalu karet, kopi, dan kakao menghasilkan 6,5 miliar dolar AS.
Keberadaan kelapa sawit di Indonesia disorot lantaran tanaman tersebut banyak mengubah fungsi hutan. Berdasarkan data yang dihimpun, lebih dari 1,5 juta hektare kawasan hutan di Indonesia telah ditanami kelapa sawit tanpa izin kehutanan.
Secara khusus, di wilayah Provinsi Riau aksi penyulapan hutan menjadi kebun sawit berlangsung massif hingga saat ini. Setidaknya, menurut hasil inventarisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lebih dari 500 ribu hektare kawasan hutan dikuasai secara ilegal untuk perkebunan kelapa sawit.
Kebun sawit itu tak hanya dikelola oleh individu masyarakat, namun juga oleh kelompok tani dan koperasi serta korporasi. Bahkan, dalam sejumlah kasus di lapangan, sejumlah korporasi diduga telah memperalat koperasi sebagai tentakel penguasaan hutan secara ilegal untuk perkebunan kelapa sawit.
Lebih ironis, sejumlah kawasan hutan konservasi di Riau pun hancur lebur dirambah bersalin rupa menjadi kebun sawit. Misalnya yakni terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dan Suaka Margasatwa Balairaja serta sejumlah kawasan hutan konservasi lain yang sudah luluh lantak dibabat untuk pembukaan kebun kelapa sawit.
Keberadaan kebun kelapa sawit ilegal tersebut tak hanya merusak ekosistem dan mempercepat perubahan iklim serta kenaikan suhu. Namun juga kebun-kebun sawit tersebut dipastikan tidak membayar kewajiban pajak kepada pemerintah. (*)