Kasus HGU PT Adimulia Agrolestari Ungkap Praktik Bagi-bagi Uang Sejumlah Perusahaan Lain di BPN Riau: BPN Tertutup, Harusnya Benar-benar Direformasi!
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Fakta persidangan kasus suap Hak Guna Usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari dengan terdakwa eks Kakanwil BPN Riau Syahrir di Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru menguak praktik bagi-bagi uang dari sejumlah perusahaan dalam pengurusan HGU perkebunan kelapa sawit di Riau. Ternyata, tak hanya PT Adimulia saja yang menyetor uang, namun beragam perusahaan lain disebut turut memberi fulus untuk memperlancar proses HGU diterbitkan.
Dalam persidangan yang berlangsung Selasa (16/5/2023) lalu, pejabat PT Eka Dura Indonesia, Ahmad Fahmy Halim mengaku memberikan uang sebesar Rp 1 miliar kepada Syahrir. Fulus diberikan untuk pengurusan HGU perusahaan di Rokan Hulu.
Jumlah uang yang awalnya diminta Syahrir, kata Ahmad sebesar Rp 5 miliar. Namun perusahaan tak bisa menyanggupi. Belakangan, uang yang diduga diminta Syahrir berkurang menjadi Rp 3,5 miliar dan turun lagi menjadi Rp 2,5 miliar. Tapi, PT Eka Dura hanya bisa menyanggupi sebesar Rp 1 miliar.
Ahmad menjelaskan, penyerahan uang dilakukan di rumah dinas Syahrir di Jalan Kartini, Pekanbaru. Namun, sebelumnya Ahmad telah bertemu dengan Syahrir di ruang kerja Kantor BPN Riau di Jalan Pepaya.
Ahmad lantas membawa uang yang sudah disiapkan di dalam mobil dan dikemas pada sebuah tas koper merek President. Di rumah dinas Syahrir, seorang perempuan bernama Mila sudah menunggu. Mila merupakan keponakan Syahrir.
"Koper saya serahkan di rumah dinas kepada perempuan Mila. Lalu saya langsung pulang," kata Ahmad.
Mila yang juga dihadirkan dalam persidangan tak membantah telah menerima tas koper dari Ahmad.
"Benar saya menerimanya, Pak, " kata Mila.
Mila rupanya telah dititipkan pesan oleh Syahrir, kalau saat penyerahan koper tidak perlu membuat tanda terima atau pun difoto.
"Kalau dia minta foto dan tanda tangan jangan mau," ujar Mila.
Koper tersebut kemudian disimpan Mila di dalam kamar rumah. Kemudian ia kembali masuk kantor.
Penyerahan koper dilakukan Mila kepada Syahrir pada sore harinya. Mila menyebut kalau Syahrir telah menerima koper yang dititipkan tersebut.
Dalam persidangan tadi, Syahrir beralibi kalau koper tersebut bukan berisi uang. Ia menyebut kalau koper hanyalah berisi pakaian kerabatnya bernama Rusdi yang tertinggal dan mau dibawa ke Pelalawan.
Tak hanya PT Adimulia dan PT Eka Dura saja yang diduga menyerahkan uang ke Syahrir. Surat dakwaan jaksa KPK mengungkapnl dugaan bagi-bagi fulus juga digencarkan perusahaan lain.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum KPK, Rio Fandi dalam surat dakwaannya menyebut selama bertugas menjadi Kakanwil BPN Riau, Syahrir diduga ia menerima uang untuk pengurusan hak atas tanah dari sejumlah perusahaan.
Surat dakwaan KPK menyebut nama-nama sejumlah perusahaan di antaranya PT Permata Hijau, PT Ekadura Indonesia, PT Safari Riau dan PTP Nusantara V.
KPK juga menyebut nama perusahaan lain yakni PT Surya Palma Sejahtera, PT Sekar Bumi Alam Lestari, PT Sumber Jaya Indahnusa Coy, PT Meridan Sejati Surya Plantation.
BPN Tertutup
Pengamat sosial, Dr Rawa El Amady menilai, praktik pemberian uang tersebut disebabkan tertutupnya proses pengurusan HGU di BPN. Dalam kondisi itu, celah terjadinya transaksi terbuka lebar.
"Itu terjadinya dalam ruang-ruang gelap. Transaksi itu akibat proses yang berlangsung di BPN sangat tertutup. Perusahaan punya kepentingan mendapatkan HGU. Alhasil cara-cara tersebut (suap) terpaksa dilakukan untuk memastikan prosesnya berjalan cepat," kata Rawa, Jumat (19/5/2023).
Ia menjelaskan, BPN semestinya harus direformasi secara total, tidak sekadar retorika belaka. Menurutnya, pengurusan HGU terkait dengan pengelolaan lahan yang luas. Sehingga proses di BPN harusnya dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik.
Ia menagih janji dilakukan reformasi total di BPN, tidak sekadar retorika dan lips services belaka.
"BPN ini harus direformasi. Persoalan paling krusial yakni bagaimana agar BPN transparan dan diawasi secara ketat. Apalagi jika menyangkut HGU perusahaan, karena lahannya pasti luas," tegas Rawa.
Menurutnya, kerap kali dalam HGU perusahaan terjadi konflik dengan masyarakat. Namun, jika BPN hanya berpihak pada korporasi, maka masalah rakyat dengan perusahaan dipastikan tidak diselesaikan secara adil.
Merujuk pada sejumlah riset akademik dan penelitian masyarakat sipil, kata Rawa, dalam setiap konflik agraria dipastikan terjadi korupsi. Pelakunya sangat beragam, tidak saja dari unsur pengambil keputusan namun juga masyarakat.
"Riset-riset mengungkap bahwa dalam setiap adanya konflik agraria, pasti terjadi praktik korupsi yang melibatkan sejumlah stakeholder terkait di dalam sistem maupun di luar sistem," tegasnya.
Antropolog alumnus Universitas Indonesia ini juga berharap majelis hakim PN Pekanbaru dapat melakukan terobosan dalam putusan yang akan diambil pada perkara suap PT Adimulia Agrolestari. Salah satunya yakni menyatakan agar seluruh perusahaan yang terbukti memberi suap ke pejabat BPN, proses pengurusan HGU-nya ditangguhkan.
"Terobosan majelis hakim dalam membuat keputusan itu akan memberi rasa keadilan bagi masyarakat," tegas Rawa.
Kepala Kanwil BPN Riau, Asnawati belum menjawab konfirmasi media ini perihal proses lanjutan HGU sejumlah perusahaan yang dalam persidangan kasus PT Adimulia Agrolestari disebut memberikan uang pelicin.
Total Suap Rp 20,97 Miliar
Adapun total uang dugaan gratifikasi yang diterima Syahrir mencapai Rp 20,97 miliar yang tidak pernah dilaporkan oleh terdakwa kepada KPK sampai dengan batas waktu 30 hari kerja sebagaimana ditentukan oleh undang-undang.
Total uang yang diterima Syahrir tersebut adalah akumulasi saat ia menjabat di Kakanwil BPN Maluku Utara dan Kakanwil BPN Riau. Rinciannya, sebesar Rp 5,78 miliar diterima saat menjabat Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Rp 15,18 miliar saat menjadi Kakanwil BPN Provinsi Riau.
Jaksa KPK menyebut uang itu diterima dari perusahaan-perusahaan/ perwakilan perusahaan-perusahaan yang mengurus permohonan hak atas tanah dan dari para pihak ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Kanwil BPN Provinsi Riau.
Saat bertugas di Kanwil BPN Maluku Utara sejak tahun 2017 hingga 2019, Syahrir disebut menerima uang dari PT Jababeka Morotai, PT Industrial Wedabay Industrial Park (IWIP), PT Teka Mining Resources dan PT PLN dalam pengurusan hak atas tanah.
Syahrir juga disebut menerima uang dari ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Maluku Utara dengan perincian penerimaan uang antara lain, dari Tentrem Prihatin (Kabid Hubungan Hukum) tahun 2018-Juni 2019 sebesar Rp16.800.000. Dari Endah Retnowati sebagai Kasi Sengketa Kanwil BPN Maluku Utara sebesar Rp15 juta dan dari Armenius Pao sebagai Kasi Pengukuran dan Pemetaan pada Kantor Pertanahan Halmahera Utara sebesar Rp10 juta.
Uang Disimpan di Bank
KPK dalam dakwaannya menyebut uang hasil gratifikasi itu ditempatkan di sejumlah rekening perbankan antara lain Bank Central Asia (BCA), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Panin, Bank Maybank serta Bank Rakyat Indonesia (BRI) atas nama M Syahrir dan juga Eva Rusnati yang merupakan istri M Syahrir.
Melalui uang tersebut, sejumlah aset dibeli berupa properti tanah tersebar di sejumlah tempat serta juga untuk pembelian mobil.
"Terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaannya tersebut merupakan hasil dari tindak pidana korupsi berkaitan dengan penerimaan suap dan gratifikasi dari perusahaan/ perwakilan perusahaan yang mengurus permohonan hak atas tanah dan juga dari para pihak ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Kanwil BPN Provinsi Riau, serta dari pihak terkait lainnya," kata jaksa KPK.
Syahrir didakwa dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. (*)