Penyakit Sifilis Serang 122 Warga Riau Sepanjang Januari-Mei, Paling Banyak di Dumai
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Penyakit sifilis (raja singa) telah menyerang sedikitnya 122 warga Riau. Jumlah penderita yang terdata terbanyak berada di kota pelabuhan Dumai.
Data penderita yang terjangkit sifilis tersebut sudah termasuk penyakit infeksi menular seksual (IMS). Jumlah tersebut dihimpun oleh Dinas Kesehatan Provinsi Riau sepanjang periode Januari hingga Mei 2023.
Adapun rincian sebaran penderita sifilis tersebut didominasi paling banyak terjadi di Kota Dumai sebanyak 43 kasus. Sementara, Kabupaten Indragiri Hilir ada 33 kasus), Bengkalis sebanyak 19 kasus dan Pelalawan terdapat 13 kasus.
Penderita sifilis di Kota Pekanbaru ada5 kasus, Rokan Hilir 3 kasus dan Kuantan Singingi (2 kasus). Selanjutnya, Indragiri Hulu, Kampar, Kepulauan Meranti, dan Rokan Hulu, masing-masing ada satu kasus. Sementara tidak terdata adanya penderita sifilis di Kabupaten Siak.
Kepala Dinkes Riau Zainal Arifin kepada mediaz Minggu (14/5/2023) menyatakan, dari sebanyak 122 kasus IMS yang terdata, 69 penderita sudah diobati.
Ia menghimbau kepada pasangan suami istri untuk tetap setia demi menghindari risiko hubungan seks berisiko, sekaligus menekan jumlah kasus penyakit tersebut.
Sementara itu, berdasarkan data Diskes Riau tahun 2022, tercatat sebanyak 608 kasus sifilis di Riau. Dari jumlah itu sebanyak 317 pasien yang telah diobati. Tahun lalu, kasus tertinggi terjadi di Pekanbaru sebanyak 159 kasus dan di Kota Dumai 130 sebanyak kasus.
Meningkat 70 Persen
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan jumlah orang yang menderita penyakit sifilis mengalami peningkatan hampir 70 persen dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2016-2022).
“Untuk penyakit sifilis saja, dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2016-2022) terjadi peningkatan kasus sebesar hampir 70 persen,” kata Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril dalam Konferensi Pers: Melindungi Anak dari Penularan Penyakit Seksual yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin lalu.
Ia mengatakan pada tahun 2016 ada 12 ribu kasus penyakit sifilis dan terus meningkat hampir mendekati 21 ribu kasus pada tahun 2022.
Menurutnya, salah satu penyebab peningkatan kasus adanya perilaku seks berisiko yang dilakukan orang tua, misalnya melalui seks oral atau seks anal.
“Perilaku seks yang berisiko ini sangat mungkin untuk mencederai hak anak dan mengancam kelangsungan hidupnya karena bisa menimbulkan kecacatan,” kata Syahril.
Dalam data Kemenkes, perilaku seks yang berisiko itu kemudian membuka potensi ibu menularkan sifilis kepada anaknya. Bahkan persentase terjadinya abortus, bayi lahir mati atau bayi mengalami sifilis kongenital akibat penularan mencapai 69 hingga 80 persen.
Lebih lanjut ia menyoroti jumlah ibu hamil dengan sifilis yang diobati masih rendah atau berkisar 40 persen. Sedangkan 60 persen lainnya tidak mendapatkan pengobatan sehingga berpotensi menularkan dan menimbulkan cacat pada anak yang dilahirkan.
“Rendahnya pengobatan dikarenakan adanya stigma dan unsur malu. Setiap tahunnya, dari lima juta kehamilan hanya sebanyak 25 persen ibu hamil yang di skrining sifilis. Dari 1,2 juta ibu hamil akhirnya 5.590 ibu hamil positif sifilis,” kata Syahril.
Dari situasi itu, kata dia, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana masyarakat menghilangkan stigma buruk terhadap para pasien dan mendukung mereka segera melakukan pemeriksaan gratis yang telah disediakan fasilitas kesehatan pemerintah agar cepat mendapatkan penanganan atau obat yang dibutuhkan.
Hal lain yang perlu diupayakan berkelanjutan adalah memberikan pemahaman jika sifilis bisa dicegah dengan menggunakan alat pengaman, seperti kondom saat berhubungan seks dan menghindari perilaku seks yang berisiko.
Sebagaimana yang dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 46 tentang Kesehatan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.
“Kalau pengobatan sifilis ada obat-obat yang digunakan tergantung tingkat klinisnya, mulai dari yang ringan hingga berat. Kalau ini diobati dengan baik, maka Insya Allah dia akan sembuh, terkendali, dan tidak menulari kepada orang lain, termasuk kepada bayi yang akan dilahirkan,” ucap Syahril. (*)