RUPS Adaro Ricuh, Pemegang Saham Protes Rencana Pembangunan PLTU Batubara
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Adaro sempat ricuh. Hal ini disebabkann aksi protes dua orang pemegang saham saat berjalannya rapat yang dihadiri para eksekutif perusahaaan tersebut, Kamis (11/5/2023).
Berdasarkan video yang di-upload di Twitter organisasi lingkungan hidup internasional Greenpeace, terlihat dua orang pria mendadak maju ke depan membentangkan poster. Isinya memprotes rencana pembangunan PLTU Batubara di Kalimantan Utara (Kaltara). PLTU tersebut dibangun untuk smelter aluminium Adaro.
"Kejadian hari ini di Rapat Umum Pemegang Saham Adaro Energi di Jakarta. Gak hanya satu, tapi dua pemegang saham mengungkapkan keresahan mereka atas rencana Adaro untuk membangun PLTU batu bara baru di tengah Krisis Iklim yang melanda," tulis Greenpeace dalam akun Twitter-nya, Kamis (11/5/2023).
Ganjar, salah satu pemegang saham Adaro yang melakukan aksi protes mendesak Adaro menunjukkan niat transisi yang serius dengan beralih dari bisnis batubara.
“Krisis iklim mengancam masa depan dan anak cucu kita. Adaro harus menunjukkan niat transisi yang serius dengan beralih dari bisnis batubara dan investasi yang lebih agresif ke sektor energi terbarukan,” teriak Ganjar.
Aksi dua orang pemegang saham tersebut lantas dihentikan oleh sejumlah pria berpakaian biru. Keduanya disorong keluar meninggalkan ruangan rapat.
Dalam laporan keuangannya berjudul “Transforming into a bigger and greener Adaro,” Adaro menyatakan akan melakukan transisi energi. Namun hingga kiini, perusahaan tersebut masih mengandalkan bisnis batubara.
Malahan, produksi batubara Adaro meningkat hampir 20 persen menjadi 62,8 juta ton dari 52,7 juta ton di tahun 2021 dan menargetkan kenaikan produksi batubara di tahun 2023 ini.
“Jika Adaro masih tidak menunjukkan upaya transisi keluar dari bisnis batu-bara yang serius, institusi keuangan yang bertanggung jawab sebaiknya tidak mendukung bisnis Adaro,” tegas Abdi, salah satu pemegang saham Adaro lainnya.
PLTU batubara baru tersebut merupakan PLTU captive, istilah untuk pembangkit listrik yang didedikasikan untuk menyediakan listrik untuk suatu fasilitas industri yakni smelter aluminium dengan kebutuhan sekitar 1,1 gigawatt (GW).
Smelter Adaro ini direncanakan akan memproduksi 500.000 ton aluminium setiap tahun. Dengan asumsi PLTU tersebut menggunakan teknologi yang terbaik saat ini, yaitu ultra super critical, maka PLTU ini diprediksikan akan menghasilkan emisi 5,2 juta ton CO2 ekuivalen per tahunnya.
“Pembangunan PLTU batubara baru hanya akan memperburuk dampak krisis iklim, mencemari lingkungan, merugikan masyarakat dan mencederai komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dari sektor energi,” ucap Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.
Dalam skenario Net Zero Emission 2050 yang digagas International Energy Agency (IEA), untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius seharusnya sudah tidak ada lagi pembangunan PLTU batubara baru setelah tahun 2021. Hal ini bertolak belakang dengan rencana Adaro membangun PLTU batubara baru untuk smelter aluminiumnya.
Adaro diketahui telah menandatangani PPA dengan PLN untuk pembangkit listrik tenaga angin di Kalimantan sebesar 70 megawatt (MW). Berdasarkan laporan keuangan Adaro tahun 2022, Adaro memiliki kas sebesar US$ 2,7 miliar.
Transisi Adaro seharusnya dilakukan dengan menghentikan rencana pembangunan PLTU batubara baru dan mengedepankan belanja modal untuk berinvestasi pada energi terbarukan.
Belum ada penjelasan dari manajemen Adaro atas protes yang terjadi dalam RUPS tersebut. (*)