Hari-hari Membosankan Menanti Pj Wali Kota Pekanbaru Titisan Kementerian
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Di permukaan, suhu politik Kota Pekanbaru tampaknya adem-adem saja. Tak ada pergerakan, demonstrasi tak muncul. Kritik tak terdengar dan semuanya terkesan cuek bebek.
Padahal, satu agenda besar sedang berproses. Menanti siapa Penjabat Wali Kota Pekanbaru yang akan habis masa jabatannya pada 23 Mei 2023 mendatang.
Tak ada riak-riak. Sebagian kecil media mengabarkan kisah sukses, penghargaan sampai pada testimoni dukungan untuk kandidat inkumben. Ada media mengabarkan berita negatif calon lain dengan dugaan masalah yang dituding pernah dilakukan.
Tapi itu semua tampaknya hanyalah permainan kecil belaka. Lebih dari itu, tak muncul substansi yang menjadi harapan rakyat.
Itu sebabnya, penantian siapa Penjabat Wali Kota Pekanbaru saat ini seperti hari-hari yang membosankan.
Ada sejumlah argumen untuk memperkuat perasaan subjektif itu. Pertama, penunjukkan Pj Wali Kota tanpa dinamika politik di lembaga perwakilan rakyat. Bayangkan, lembaga sekelas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pekanbaru tidak berupaya mencari format pengajuan usulan kandidat.
Padahal, Sekretaris Jenderal Kemendagri pada akhir Maret lalu sudah mengirimkan surat permintaan usulan 3 nama calon Pj Wali Kota Pekanbaru. Seyogianya ini menjadi kesempatan bagi lembaga DPRD untuk merekomendasikan 3 nama kandidat yang diminta oleh Kemendagri.
Namun, hingga batas waktu yang diberikan kepada DPRD habis, institusi yang konon katanya merupakan representasi rakyat, tapi tak menjalankan perannya. Tak ada kabar dari gedung DPRD tentang siapa calon yang diusulkan ke Kemendagri. DPRD Pekanbaru tak merekomendasikan satu pun usulan nama.
Kedua, suara masyarakat tak dilibatkan langsung maupun tidak langsung dalam proses seleksi Pj Wali Kota. Tidak ada kanal yang difasilitasi oleh Kemendagri untuk menampung arus aspirasi masyarakat.
Ini mengindikasikan partisipasi publik tidak dibuka oleh Kemendagri. Tanpa partisipasi dan mendengar suara rakyat, maka penunjukkan langsung oleh Kemendagri terasa sangat sepihak.
Ketiga, alat patok ukuran pengangkatan Pj Wali Kota tidak jelas. Kriteria yang dipakai sangat normatif sebatas hanya merupakan pejabat eselon II (pejabat tinggi pratama). Tidak ada indikator lain yang diketahui publik sebagai syarat yang lebih substantif.
Akibat tertutup dan sangat sentralistiknya proses pengangkatan Pj Wali Kota ini, menimbulkan antipati publik. Masyarakat bertendensi kalau sepenuhnya itu hanyalah keinginan pemerintah pusat belaka, tanpa pernah mendengar suara rakyat di akar rumput.
Bagi elit daerah, sebut saja Gubernur Riau Syamsuar, ini memang merupakan pertaruhan babak kedua. Tiga calon telah direkomendasi oleh Syamsuar ke Kemendagri beberapa waktu lalu. Disebut-sebut Muflihun yang merupakan Pj Wali Kota Pekanbaru tidak masuk di dalamnya.
Jika dalam perjalanannya nanti, tak satu pun kandidat yang diajukan Syamsuar disetujui oleh Kemendagri, maka ini adalah 'kekalahan' yang kedua bagi Ketua DPD I Partai Golkar Riau ini.
Tapi itu semata hanya pertarungan di level elit. Tak ada urusan rakyat di dalamnya. Toh, tiga usulan nama Pj Wali Kota Pekanbaru versi Gubernur Syamsuar juga muncul secara ujuk-ujuk, misterius dan tanpa transparansi publik yang memadai.
Pengangkatan Pj Wali Kota sepertinya hanya urusan elit. Di dalamnya terbuka muncul praktik negosiasi. Akibatnya, alat ukur makin kabur. Komunikasi politik jadi absolut. Lobi sangat menentukan dan menjadi segalanya.
Kepentingan Rakyat
Bagi masyarakat Pekanbaru, sebenarnya urusan kepemimpinan daerah ini tak terlalu diminati lagi. Ada kesan apatisme publik bahwa siapa pun yang menjabat Pj Wali Kota kondisinya akan sama saja.
Banjir, jalanan macet, sampah, layanan publik yang lamban dan persoalan lain masih terus terjadi. Pergantian kepemimpinan daerah dinilai tidak mengubah keadaan. Perubahan hanya terjadi pada tataran sampul, kaum muda menyebutnya hanya pergantian casing doang.
Ada tokoh yang menyebut pergantian kepemimpinan daerah sekadar hanya mengubah komposisi orang-orang sekitaran penguasa. Pembenahan kota masih sekadar wacana.
Masyarakat perkotaan di Pekanbaru sebenarnya sudah tak mau ambil pusing lagi dengan siapa pun pemimpinnya. Asal saja kebijakan yang dibuat tak mengganggu dan merugikan mereka.
Toh, masyarakat sehari-hari harus bekerja keras mencari sesuap nasi dan memenuhi biaya hidup. Peran pemerintah kini terkesan hanya sebagai simbol, tapi rakyat tetap harus tunggang langgang dan berkeringat agar bisa bertahan hidup.
Ah, sungguh membosankan hari-hari penantian, menunggu sang Pj Wali Kota titisan kementerian. (*)