3 Tahun Penyidikan Dugaan Korupsi Bansos Siak Dihentikan Saat Tahun Politik, Begini Respon Kejati Riau
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Langkah Kejaksaan Tinggi Riau yang akan menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi dana bansos Kabupaten Siak menimbulkan pertanyaan publik. Apalagi penghentian kasus yang sudah diusut sejak September 2020 silam terjadi di tengah tahun politik saat ini.
Kasus dugaan korupsi dana bansos Kabupaten Siak tahun anggaran 2014-2019 dengan total Rp 142 miliar tersebut telah menyita perhatian publik. Gelombang demonstrasi bertubi-tubi sempat digencarkan di gedung Kejati Riau maupun Kejaksaan Agung RI di Jakarta sejak beberapa waktu lalu. Hingga akhirnya kabar rencana penghentian penyidikan kasus tersebut disampaikan oleh Kejati Riau, Rabu (3/5/2023).
Asisten Pidana Khusus Kejati Riau, Imran Yusuf menepis ada hubungan rencana penghentian penyidikan kasus tersebut dengan tahun politik.
"Wah, kami tidak memiliki kaitan dengan politik. Kami berada dalam ranah penegakan hukum," kata Imran Yusuf kepada SabangMerauke News, Rabu kemarin.
Imran mengklaim penegakan hukum bekerja sesuai dengan koridornya. Yakni berdasarkan petunjuk dan adanya bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan sehingga sebuah perkara dapat dilanjutkan.
"Ranah kami pada ada tidaknya fakta-fakta hukum. Kami bekerja sesuai fakta-fakta hukum, bukan yang lainnya Di luar itu (politik) kami tidak ada sama sekali," kata mantan Kajari Badung, Bali ini.
Hampir 3 Tahun
Penyidikan kasus dugaan korupsi bansos Kabupaten Siak ini sudah cukup lama hampir tiga tahun silam. Perkara ini naik ke penyidikan saat Kajati Riau dijabat oleh Mia Amiati meneken Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor PRINT-09/L.4/Fd.1/09/2020 tanggal 29 September 2020 silam. Kala itu, Korps Adhyaksa Riau mengklaim telah menemukan peristiwa pidana serta dua alat bukti permulaan yang cukup.
Pemeriksaan sejumlah saksi-saksi pun digencarkan, termasuk menyasar sejumlah pejabat dan eks pejabat Kabupaten Siak. Salah satunya yakni mantan Kabag Kesra Pemkab Siak Yurnalis. Penyaluran dana bansos itu merupakan bagian dari tanggung jawab Yurnalis.
Belakangan, Yurnalis pindah tugas menjadi Kepala Dinas Kependudukan Catatan Sipil Provinsi Riau. Beberapa saat kemudian, ia dimutasi menjadi Staf Ahli Gubernur Riau.
Kasus bansos yang disidik Kejati Riau ini terjadi saat Bupati Siak dijabat oleh Syamsuar. Pada pilkada 2019 silam, Syamsuar terpilih menjadi Gubernur Riau berpasangan dengan wakilnya Edy Natar Nasution.
Di tengah penyidikan berlangsung, Mia Amiati dipromosi menjadi salah satu pejabat di lingkaran Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel). Kala itu, Asisten Pidana Khusus Kejati Riau dijabat oleh Hilman Azasi yang dimutasi ke Kejati Nusa Tenggara Barat (NTB).
Saat Kajati Riau pengganti Mia dijabat oleh Jaja Subagja pada 17 Februari 2021 lalu, Jaja berjanji akan mengusut tuntas perkara ini. Pemeriksaan ribuan saksi pun dilakukan. Bahkan dikabarkan penyidik pidsus Kejati Riau 'pindah kantor' sementara ke Siak untuk memeriksa saksi yang jumlahnya banyak.
Kejaksaan Tinggi Riau kala itu berdalih, penyidikan kasus ini membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga belum dapat mengumumkan tersangka perkara. Alasannya, penyidik harus memeriksa satu per satu orang dan kelompok penerima dana bansos yang jumlahnya mencapai ribuan orang.
Belakangan, Kejati Riau melalui Asisten Intelijen kala itu dijabat Raharjo Budi Kisnanto menyebut kalau pihaknya sedang menunggu hasil perhitungan kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sebelum menetapkan siapa tersangka dalam kasus ini. Alhasil, pada Januari 2023 lalu BPKP Riau disebut telah menyerahkan hasil audit dana bansos tersebut kepada Kejati Riau.
Hingga akhirnya, Kajati Riau di era Supardi kasus ini menemui titik terang dengan akan dilakukannya penghentian penyidikan perkara. Supardi merupakan mantan Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung. Ia dikenal banyak menangani kasus-kasus korupsi kakap, seperti kasus korupsi dengan kerugian negara terbesar dalam sejarah republik yang dilakukan bos Duta Palma Grup, Surya Darmadi.
Sepanjang kasus dugaan korupsi bansos ini naik ke proses hukum, beragam dinamika sosial terjadi. Warna-warni demonstrasi, apapun motif di baliknya menghiasi pemberitaan di media konvensional maupun media sosial.
Secara sosial politik, kasus ini telah menyerap banyak energi, kegusaran, syak wasangka dan juga derita, khususnya bagi pihak yang namanya disebut-sebut dalam perkara tersebut.
Dalam sejumlah demonstrasi skala besar dan kecil yang digelar, nama Gubernur Syamsuar juga kerap diseret-seret. Namun Syamsuar tak pernah memberikan klarifikasi atas kasus ini.
Penggunaan bansos Pemkab Siak didistribusikan untuk sebanyak 15 jenis kelompok bantuan. Di antaranya, bansos untuk rumah tangga miskin dan lansia terlantar yang jumlah penerimanya 700 sampai 1.000 setiap tahunnya.
Kemudian bansos untuk penyandang cacat, bansos untuk fakir miskin, bansos untuk yatim piatu, bansos untuk suku terasing dan bansos untuk mahasiswa PTIQ dan IIQ.
Selain itu juga bansos untuk mahasiswa luar negeri, bansos untuk rombongan belajar, bansos untuk beasiswa S1, bansos untuk beasiswa S2 dan bansos untuk beasiswa D3.
Tak Temukan Mens Rea
Diwartakan kemarin, tim penyidik pidana khusus Kejaksaan Tinggi Riau (Kejati) Riau segera mengajukan penghentian penyidikan perkara kasus dugaan korupsi dana bansos Kabupaten Siak tahun anggaran 2014-2019. Langkah tersebut menyusul telah digelarnya ekspos perkara oleh tim penyidik.
"Tim penyidik sudah ekspos. Disimpulkan kalau dalam perkara tersebut tidak ditemukan mens rea (niat jahat). Sehingga tim akan mengajukan penghentian penyidikan," kata Asisten Pidana Khusus Kejati Riau, Imran Yusuf kepada SabangMerauke News, Rabu (3/5/2023).
Imran menjelaskan, hasil audit BPKP Riau terhadap penyaluran dana bansos yang disebut mencapai Rp 142 miliar tersebut, memang menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp 389 juta. Namun, kerugian negara tersebut bukan karena dana bansos tidak disalurkan. Penyaluran dananya diberikan kepada orang yang namanya bukan tercantum dalam daftar penerima.
"Misalnya, penerima awalnya ternyata sudah meninggal, kemudian diberikan kepada ahli warisnya. Jadi, dana tetap didistribusikan, tapi bukan kepada penerima awal yang masuk daftar penerima bansos," kata Imran.
Imran menyatakan, BPKP menyebut penyaluran dana yang tidak sesuai nama peruntukannya tergolong kerugian negara. Namun, hasil kajian tim penyidik penyaluran tidak berdasarkan nama sebesar Rp 389 juta tersebut tidak disertai niat jahat (mens rea). Mens rea merupakan salah satu dasar dalam penetapan tersangka.
Menurutnya, tim penyidik sudah melakukan pemeriksaan terhadap ribuan saksi dalam perkara ini. Yakni pihak-pihak yang terkait sebagai penerima maupun penyalur bansos.
"Setelah dikaji lebih dalam dan berulang kali, tim penyidik tidak menemukan unsur yang kuat sebagai tindak pidana korupsi," kata Imran.
Meski demikian, Imran menyebut surat perintah penghentikan penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi bansos Kabupaten Siak ini belum diterbitkan.
"Penyidik yang akan mengajukan," terangnya.
Imran menjelaskan, pihaknya akan menyerahkan tindak lanjut persoalan dana bansos ini ke Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Kabupaten Siak.
"Agar ke depannya, penyaluran dana dilakukan sesuai ketentuan," kata Imran. (*)