Kementerian LHK Keok Dibikin Perusahaan Pembakar Lahan, Ganti Rugi Rp 561 Miliar Dibatalkan Pengadilan Tinggi
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta mengabulkan banding PT Agri Bumi Sentosa (ABS). Perusahaan yang sebelumnya digugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam kasus kebakaran lahan seluas 1.500 hektare ini, dibebaskan dari ganti rugi sebesar Rp 561 miliar.
Putusan PT Jakarta ini menganulir putusan sebelumnya yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 28 Desember 2022 lalu. Kala itu, majelis hakim PN Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan Kementerian LHK terhadap PT ABS yakni membayar ganti rugi materiil dan pemulihan lingkungan sebesar Rp 561 miliar.
"Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Tergugat," tulis majelis hakim banding PT Jakarta seperti dilihat SabangMerauke News, Rabu (3/5/2023).
Majelis hakim banding dalam putusannya membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 816/ Pdt. G.LH/2021/PN.Jkt.PST tanggal 28 Desember 2022 yang dimohonkan banding tersebut.
Vonis banding ini ditetapkan oleh majelis hakim yang diketuai Berlin Damanik dan dua anggota majelis yakni Sirande Palayukan dan Chrisno Rampalodji. Adapun putusan perkara banding ini teregister dengan nomor: 217/PDT.G-LH/ 2023/ PT DKI, Selasa (2/5/2023) kemarin.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim mempersoalkan tidak dilakukannya mekanisme mediasi dalam perkara lingkungan hidup tersebut. Hakim berkeyakinan sesuai UU Lingkungan Hidup bahwa gugatan ganti rugi akibat rusaknya lingkungan haruslah ditempuh lebih dahulu di luar pengadilan dan apabila tidak berhasil barulah ditempuh melalui pengadilan (proses litigasi).
Berikut pertimbangan hukum majelis hakim dalam mengabulkan banding PT BAS:
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang Lingkungan Hidup tersebut maka secara imperatif diatur dengan jelas bahwa gugatan ganti rugi akibat rusaknya lingkungan haruslah ditempuh lebih dahulu di luar pengadilan dan apabila tidak berhasil barulah ditempuh melalui pengadilan (proses litigasi).
Menimbang, bahwa hal tersebut adalah merupakan aturan yang tidak boleh disimpangi, hal mana sesuai dengan keterangan saksi ahli dari Tergugat yaitu Prof, Dr. Waty Suwarty Hartono, SH.,MH., guru besar Hukum Lingkungan yang menyatakan bahwa Undang-Undang Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009, tentang penyelesaian Lingkungan Hidup dalam Pasal 84 ayat(3) secara tegas menyatakan penyelesaian masalah lingkungan hidup dapat diselesaikan di luar Pengadilan ( mediasi) terlebih dahulu baru ke pengadilan.
Apabila tidak pernah melakukan mediasi terlebih dahulu dan langsung membawa ke Pengadilan, maka tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang karena mengacu kepada Undang-Undang harusnya mediasi dan atau kesepakatan-kesepakatan dilakukan terlebih dahulu baru melalui jalur litigasi.
Bahwa bunyi ketentuan Pasal 84 ayat (3) tersebut sudah jelas dan tidak perlu di interpretasikan lain dan bunyi Undang-Undang lebih tinggi dari Putusan Mahkamah Agung.
Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi telah melihat dan mencermati bukti-bukti dari Penggugat yaitu bukti P1 s.d bukti P 92 demikian juga dengan dalil-dalil Penggugat tidak menemukan adanya bukti-bukti maupun dalil-dalil Penggugat yang dapat membuktikan bahwa Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup a quo sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup telah dilakukan terlebih dahulu penyelesaiannya melalui Mediasi ( penyelesaian di luar Pengadilan ) oleh para pihak yang bersengketa.
Maka Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa Eksepsi Tergugat yang menyatakan bahwa gugatan penyelesaian sengketa lingkungan hidup tentang ganti rugi terhadap Tergugat yang didalilkan Penggugat adalah masih Prematur yang seharusnya terlebih dahulu harus diselesaikan terlebih dahulu secara Mediasi (non litigasi) dan apabila tidak berhasil baru melalui penyelesaian litigasi yaitu melalui Pengadilan.
Menimbang, bahwa atas pertimbangan di atas, maka Eksepsi Tergugat tersebut adalah beralasan dan dapat dikabulkan.
Sebelumnya, PT Agri Bumi Sentosa (ABS) oleh PN Jakarta Pusat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam terjadinya kebakaran lahan seluas 1.500 hektare. Kebakaran terjadi di areal PT ABS, Desa Karya Tani, Kecamatan Barambai, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2019 silam.
Adapun majelis hakim yang menjatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama saat itu diketuai oleh Heru Hanindyo serta hakim anggota Dulhusin dan Dariyanto. PT ABS terbukti menyebabkan kerusakan gambut akibat kebakaran lahannya.
Majelis hakim mewajibkan PT BAS membayar ganti rugi secara tunai ke rekening kas negara dengan total Rp 561 miliar, dengan rincian:
1. Ganti rugi materiil Rp 160,6 miliar.
2. Biaya pemulihan fungsi lingkungan hidup sebesar Rp 336 miliar
3. Biaya untuk mengaktifkan fungsi ekologis yang hilang sebesar Rp 13,9 miliar
4. Biaya pembangunan/perbaikan hidrologi system di lahan gambut sebesar Rp 18 miliar.
5. Biaya revegetasi sebesar Rp 30 miliar.
6. Biaya pelaksanaan pengawasan pemulihan lingkungan hidup sebesar Rp 2,9 miliar.
PT BAS tidak terima dengan vonis tersebut dan mengajukan banding pada 3 Januari 2023 lalu. Upaya hukum bandingnya pun dikabulkan PT Jakarta. Belum diketahui apakah Kementerian LHK akan menempuh upaya hukum kasasi atas putusan PT Jakarta ini. (*)