Ini Profil Pertamina Hulu Energi, Ujung Tombak Pertamina yang Mau 'Dijual' IPO Demi Dapatkan 1,5 Miliar USD Padahal Labanya 4,6 Miliar USD
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Langkah Kementerian BUMN di bawah kepemimpinan Erick Thohir yang akan membawa PT Pertamina Hulu Energi (PHE) masuk bursa saham dan melakukan penawaran umum perdana dikritik keras sejumlah kalangan.
Logika melakukan Initial Public Offering (IPO) dipertanyakan karena kondisi perusahaan mampu menghasilkan laba sebelum audit sebesar 4,6 miliar USD. Di sisi lain, rencana IPO hanya untuk mendapatkan dana segar publik sebesar 1,5 miliar USD atau hampir setara Rp 20 triliun.
"Inilah problem bangsa ini. Mendapatkan laba 4,6 miliar USD, tapi harus diprivatisasi untuk mendapatkan uang 1,5 miliar USD. Saya gak ngerti logikanya. Ini mau dijual, mau dijual, privatisasi dari dulu. Padahal andalan kita adalah Pertamina," kata anggota Komisi VII DPR RI Ramson Siagian dalam rapat bersama jajaran PT PHE yang dipimpin Dirut PHE Wiko Migantoro.
"Biasanya ini akan diambil investor luar negeri. Padahal keuntungannya PHE 4,6 miliar USD. Saya gak ngerti ini logikanya keputusan ini. Apa aja kerja mereka ini. Padahal CSR diurus-urus oleh Meneg. Mau dijual, mau di IPO," ketus Ramson, tiga pekan lalu.
Namun tampaknya kritik keras tersebut seolah dicuekin dan menjadi angin lalu belaka. Faktanya IPO yang akan dilakukan PHE dengan menjual 10% hingga 15% saham dalam penawaran perdana, bakal dilakukan pada Juni mendatang.
Menelisik tentang profil PHE, perusahaan ini disebut-sebut sangat seksi dan menjadi lirikan banyak pihak. PHE merupakan subholding upstream sektor hulu Pertamina.
PHE adalah perusahaan strategis yang fokus pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Di tangan perusahaan ini, disandarkan lebih 60 persen lifting minyak. Selebihnya, lifting dipersembahkan oleh kontraktor migas swasta dan asing.
Dicuplik dari laman resmi PHE, sejarah perusahaan ini diawali dari PT Aroma Operations Services (AOS) pada tahun 1989. AOS merupakan anak perusahaan PT Pertamina (Persero), yang didirikan untuk mendukung operasi kilang petrokimia di Cilacap, Jawa Tengah.
Pada tahun 2002 AOS berubah nama menjadi PT Pertahulu Energy, kemudian di tahun 2007 menjadi PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang menyesuaikan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
Dengan UU tersebut, PT Pertamina (Persero) harus memisahkan kegiatan usaha hulu serta hilir migas. Oleh karena itu, PT Pertamina (Persero) menyerahkan pengelolaan atas Wilayah Kerja (WK) hulu yang sebelumnya dikelola melalui kerja sama dengan pihak ketiga dalam bentuk Joint Operating Body (JOB) maupun Participating Interest (PI) kepada PHE.
Penyerahan diikuti pengalihan operasional blok-blok migas kepada anak perusahaan-anak perusahaan PHE, sesuai persetujuan Direksi PT Pertamina (Persero) pada 18 September 2007 dan Dewan Komisaris PT Pertamina (Persero) pada 6 November 2007. PHE memiliki tugas mengelola WK migas PT Pertamina (Persero).
Sejalan pembentukan PT Pertamina (Persero) sebagai holding migas, pada tahun 2021 PHE ditetapkan menjadi Subholding Upstream, berdasarkan Surat Keputusan Direksi No. Kpts-19/C00000/2020-50 tertanggal 16 Juni 2020.
Sesuai dengan keputusan pemegang saham secara sirkuler pada tanggal 1 September 2021 tentang Implementasi Pembentukan (Legal End-State) Subholding Upstream, PHE melakukan pengambilalihan seluruh saham sektor hulu milik PT Pertamina (Persero). Ada sebanyak 11 anak perusahaan hulu PT Pertamina (Persero) yang diambil.
PHE Subholding Upstream mengelola WK berdasarkan lima regional dengan mempertimbangkan aspek volume produksi, regional, dan kompleksitas operasional.
PHE Subholding Upstream berperan sebagai planner, validator, dan policy maker. Sementara itu, posisi regional akan berfokus pada optimizer dan integrator serta peningkatan safety, produksi, dan cadangan migas.
Sampai akhir tahun 2021, PHE Subholding Upstream terdiri atas 68 anak perusahaan. Selain itu, PHE juga memiliki 6 (enam) perusahaan joint venture.
Wilayah Kerja PHE Subholding Upstream dibagi menjadi 5 (lima) regional, meliputi 40 wilayah kerja domestik. Terdiri dari 27 blok operator dan 13 blok non-operator, serta 27 wilayah kerja internasional di 13 negara meliputi kawasan Asia Tenggara, Afrika, Eropa, dan Timur Tengah.
Berdasarkan laman wikipedia, kepemilikan PHE dikuasai oleh PT Pertamina (Persero) dengan penguasaan sebanyak 98,72 persen saham. Selain itu, ada juga milik PT Pertamina Pedeve Indonesia yang memiliki sebanyak 1,28 persen saham di PHE. Namun, soal nilai aset yang dimiliki PHE belum diketahui secara pasti.
Salah satu anak usaha PHE yakni PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang dibentuk sejak 2018 lalu. PHR diinisiasi mengelola ladang minyak Blok Rokan dan berkembang hingga ke ladang migas di daratan Sumatera. PHR disebut-sebut berkontribusi menyumbang 30 persen produksi minyak nasional dari ladang Rokan yang sejak 9 Agustus 2021 lalu diambil alih dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) karena masa konsesinya telah berakhir.
Menurut Dirut PHE, Wiko Migantoro, pada tahun 2022 lalu, perusahaan yang dipimpinnya mencatat pendapatan kotor lebih dari 16 miliar USD. Sementara, laba kotor sebelum diaudit mencapai 4,6 miliar USD.
Meniru Langkah Perusahaan Migas Dunia
Langkah IPO yang akan dilakukan oleh PHE ini sepertinya meniru apa yang sudah dilakukan sejumlah perusahaan migas raksasa di negara lain. Sebut saja Saudi Aramco, badan usaha milik negara migas Kerajaan Saudi Arabia, yang mendapatkan dana segar dari IPO hampir US$ 26 miliar hanya dengan menjual 1,5 persen sahamnya di bursa dunia.
Selain itu juga Gazprom, perusahaan BUMN migas terbesar Rusia yang telah melakukan IPO membagikan sebagian sahamnya kepada publik termasuk ke negara-negara Eropa lainnya.
Petronas Chemicals, BUMN Malaysia pada 2010 juga melaksanakan IPO dan memperoleh dana segar 2,8 miliar USD.
DPR Berencana Bentuk Panja Pertamina
Rapat antara Komisi VII DPR RI dengan jajaran manajemen PHE dan anak perusahaannya pada 10 April lalu mewacanakan dibentuknya panitia kerja (Panja) untuk menelisik sejumlah isu kritis di Pertamina. Salah satunya yakni soal rencana IPO dan terjadinya persoalan di Pertamina Hulu Rokan (PHR) maupun anak perusahaan PHE lainnya.
Sejumlah anggota Komisi VII DPR lintas fraksi saat itu mewacanakan pembentukan Panja Pertamina. Namun, telah lebih 3 pekan usai rapat, rencana pembentukan Panja tersebut belum jelas apakah sudah terbentuk atau sekadar move saja.
"Ini perlu Panja untuk Pertamina. Tinggal Pertamina nih yang 100 persen milik rakyat dan negara, kata Ramson yang didukung oleh banyak anggota Komisi VII DPR lainnya saat rapat digelar. (*)